Jakarta, MKOnline - UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah kembali diuji konstitusionalitasnya di MK. Ketentuan koalisi dalam pemilukada diadili dan di gelar Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (20/8), di Gedung MK. Sidang yang mengagendakan perbaikan permohonan diajukan oleh Christian Nehemia Dellak dan Zacharias Paulus Manafe yang diwakili kuasa hukumnya Jacqson J. Terinathe.
Dalam persidangan, Pemohon memperbaiki permohonan yang diajukan serta menyertakan tujuh alat bukti, yakni salinan UU Nomor 12 Tahun 2008, foto para calon perseorangan yang berkoalisi dengan partai, dan lain sebagainya. “Kami melampirkan tujuh alat bukti dari bukti P-1 sampai dengan P-7, Yang Mulia,” jelas Jacqson.
Majelis Hakim Konstitusi yang terdiri dari Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan dan Achmad Sodiki mensahkan ketujuh alat bukti tersebut. Mukthie yang bertindak sebagai ketua majelis hakim pada persidangan ini menjelaskan bahwa untuk persidangan selanjutnya tidak perlu menghadirkan saksi DPR dan Pemerintah karena UU Pemda termasuk UU yang paling sering diuji di MK. “Sidang berikutnya akan langsung putusan. Tidak perlu menghadirkan saksi dari DPR dan Pemerintah karena UU Pemda paling sering diuji di MK,” jelas Mukthie
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan pengujian Pasal 59 ayat (1) huruf (a) dan (b) yang menyatakan bahwa “Peserta pemilihan kepala daerah adalah: (a) pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik; dan (b) pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang”. Pemohon beralasan bahwa Pasal 59 ayat (1) huruf (a) dan (b) perlu untuk ditegaskan dalam penambahan ayat di dalamnya.
Selain itu, Pemohon meminta kepada MK agar calon yang diusung oleh partai politik dan/atau gabungan partai politik dilarang untuk bergabung dengan calon perseorangan sehingga tidak merugikan pasangan calon lain yang berasal dari sesama pasangan calon perseorangan dan/atau perseorangan.
Pemohon menganggap dirugikan hak konstitusionalnya karena pada Pemilukada Kabupaten Rote Ndao (2008 -2013), karena tidak adanya ketegasan dalam penerapan Pasal 59 ayat (10 huruf (a) dan (b) UU tersebut. “Pada Pemilukada Rote Ndao yang diadakan 2008 lalu, ada pasangan calon perseorangan yang berkoalisi dengan pasangan calon yang diusulkan partai politik sehingga membuat Pemohon kalah dalam Pemilukada tersebut. Padahal pada putaran pertama, perolehan suara Pemohon memimpin,” jelas Jacqson. (Lulu A/MH)