Jakarta, MKOnline - Uji materiil terhadap UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Pemberantasan Korupsi) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (19/8), di Ruang Sidang Pleno, Gedung MK. Perkara yang dimohonkan oleh Drs. Arukat Djaswandi mengagendakan sidang perbaikan permohonan dan pengesahan alat bukti.
Pemohon bersama kuasa hukumnya, Sumali, S.H., M.H, masih mempertahankan permohonannya yang menganggap Pasal 43 B sepanjang kalimat: “sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara dinyatakan tidak berlaku” bersifat multitafsir. “Kami ingin MK menganulir Pasal 43 B. Pasal tersebut telah merugikan hak konstitusional kami karena rasa traumatik terhadap gerakan organisasi komunisme. Jika Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 itu dicabut, maka kami merasa tidak aman dan nyaman,” jelas Arukat.
Menanggapi keterangan Pemohon, Hakim Kontitusi M. Akil Mochtar mempertanyakan kepada Pemohon apakah sudah membaca berulang-ulang Pasal 43 B, karena Pemohon dinilai masih salah menafsirkan Pasal 43 B. “Apa Pemohon sudah menanyakan pada ahli bahasa mengenai makna yang terkandung dalam Pasal 43 B?” tanya Akil.
Akil pun menjelaskan bahwa Pemohon mendalilkan seakan-akan UU Nomor 27 Tahun 1999 tidak berlaku lagi sehingga akan memungkinkan komunisme berkembang lagi di Indonesia. Padahal, lanjut Akil, sesungguhnya isi Pasal 43 B bukanlah seperti yang didalilkan Pemohon. “Bukan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 yang dicabut, tetapi pasal-pasal yang tercantum dalam UU tersebut,” jelas Akil.
Arukat mengungkapkan bahwa secara praktik, Polisi menganggap bahwa UU Nomor 27 Tahun 1999 sudah tidak berlaku lagi. Hal ini, lanjut Arukat, telah dikonsultasikannya dengan Polda Jawa Timur. “Dalam praktik di lapangan, Polisi menyatakan UU Nomor 27 Tahun 1999 tidak berlaku lagi, Yang Mulia,” jelas Arukat.
Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi menegaskan bahwa untuk aplikasi UU Nomor 27 Tahun 1999 bukanlah menjadi wewenang MK. “Wewenang MK hanyalah menguji undang-undang jika dianggap sudah melanggar hak konstitusional seseorang. Sementara untuk aplikasi merupakan wewenang para penegak hukum,” jelas Arsyad.
Hakim Konstitusi Harjono menjelaskan dari aspek kebahasaan bahwa subjek dalam Pasal tersebut bukanlah UU Nomor 27 Tahun 2009, melainkan Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435. “Kalau subjeknya adalah UU Nomor 27 Tahun 1999, seharusnya berbunyi: ‘Pada saat mulai berlakunya udang-undang ini, maka UU Nomor 27 Tahun 1999 dinyatakan tidak berlaku’,” jelas Harjono.
Secara konstruksi, lanjut Harjono, pasal a quo tidak bermasalah. Akan tetapi, memang secara gramatikal harus ditafsirkan secara hati-hati sehingga tidak menyebabkan salah tafsir seperti anggapan Pemohon. “Lebih baik Pemohon coba berkonsultasi dengan Pusat Bahasa agar jangan sampai salah tafsir seperti ini,” saran Harjono.
Pemohon diminta Majelis Hakim Konstitusi untuk merenungkan dan mempertimbangkan kembali mengenai permohonannya hingga 14 hari ke depan. (Lulu A./MH)