Pagelaran Wayang Kulit HUT MK: MK Menyidangkan Sengketa Bharatayuda
Selasa, 18 Agustus 2009
| 12:35 WIB
Ketua MK, Moh. Mahfud MD menyerahkan wayang kulit kepada dalam Ki Enthus Susmono sebagai tanda pembukaan pegelaran wayang kulit dalam rangka HUT ke-6 MK.
Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) mempersembahkan Pergelaran Wayang Kulit Kresna Gugah dalam rangka memperingati HUT ke-6 MK, Jumat (14/8), di halaman gedung MK. Pergelaran dibuka sendiri oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan menyerahkan secara simbolis wayang kepada Dalang Ki Enthus Susmono. Pagelaran ini selain merupakan rangkaian acara milad MK juga bertujuan untuk sosialisasi kepada masyarakat.
Dalam sambutannya, Mahfud mengungkapkan, wayang memberikan banyak pelajaran. Akan tetapi, pelajaran yang terpenting adalah kebatilan akan terbongkar walaupun dibungkus dengan rapi. Oleh karena itu, lanjut Mahfud, jangan sekali-kali mencoba untuk berbuat batil. “Kebenaran pasti akan menang. Kalaupun kebatilan akan menang, namun kemenangan itu hanya bersifat sementara. Oleh karena itu, jangan coba-coba untuk melakukan kebatilan,” ujar Mahfud.
Ki Enthus Susmono menampilkan lakon Kresna Gugah yang dengan cermat telah menduplikasi kondisi politik kekinian di Indonesia sebagai latar belakang ceritanya. Dikisahkan bahwa Sri Kresna, Raja Negri Dwarawati yang dipercaya para dewa untuk menjalankan undang-undang perang Barata Yuda. Perang besar yang mempertemukan dua kubu antara Pandawa dan Kurawa tersebut juga melibatkan KPU (Komite Peperangan Umum Baratayuda) sebagai penasehat Sri Kresna dalam menentukan pelanggaran atau kecurangan dalam perang.
Sebelum perang terjadi, di kahyangan jonggring salaka digelar sidang panel yang dipimpin oleh Raja MK (Mahkamah Kahyangan) Sang Hyang Batara Guru. Batara Guru memulai sidang dengan mendengarkan penjelasan Sri Kresna mengenai syarat-syarat perang, kampanye sebelum perang, dan pelanggaran-pelanggaran perang.
Masing-masing pihak (Pandawa dan Kurawa) mengajukan alasan-alasan mereka untuk memenangkan perang dihadapan sembilan dewa yang memimpin persidangan MK. Pihak Kurawa yang berkeinginan menang mengemukakan bahwa dalam perang nanti yang harus mati dari pihak Pandawa adalah Arjuna. Namun dikarenakan pihak Pandawa mengemukakan dalil-dalil yang terbukti dalam persidangan sehingga permohonan Kurawa tersebut ditolak oleh Mahkamah Kahyangan.
Setelah melalui persidangan yang rumit akhir MK memutuskan untuk menetapkan undang-undang perang Baratayuda yang dihimpun dalam Kitab Jitap Sara. Keputusan tersebut ditetapkan oleh sembilan dewa MK yaitu, Batara Guru, Batara Napada, Batara Indra, Batara Surya, Batara Bayu, Batara Brama, Batara Robala, Batara Aswin, dan Batara Rayung Wulan. Persidangan tersebut dibantu oleh Batara Penyarikan selaku Panitera.
Namun peperangan antara Pandawa dan Kurawa tidaklah selesai. Pihak Patih Sengkuni dari Kurawa melakukan upaya curang yang ingin membangunkan pertapaan Kresna. Upaya tersebut gagal, malahan upaya Arjuna yang dibantu Semar untuk membangunkan pertapaan Kresna berhasil. Perang besar Baratayuda pun terjadi dimana Kresna berada dipihak Pandawa sedangkan baladewa berada dipihak Kurawa.
Peperangan Baratayuda di padang Kuru Setra tersebut merupakan “parodi” polemik Pemilihan Umum yang terjadi di Indonesia. Melalui tokoh pawayangan, Ki Enthus Susmono mencoba mengajak pendengar memahami bagaimana perselisihan Pemilu (yang digambarkan sebagai perang Baratayuda) dapat diselesaikan dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (diparodikan sebagai Mahkamah Khayangan). Upaya sosialisasi kewenangan MK kepada masyarakat memang terus digalakkan oleh Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi melalui kegiatan-kegiatan yang menyentuh langsung kepada masyarakat. Pendekatan itu tidak hanya dilakukan berupa kegiatan-kegiatan seni dan budaya yang telah lekat di kehidupan masyarakat tetapi juga kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya seperti lomba debat konstitusi.
(Lulu A./Feri Amsari/MH)