Mahfud MD: Putusan MK Beri Tafsir Konstitusional
Jumat, 07 Agustus 2009
| 19:36 WIB
Majelis Hakim MK membacakan putusan uji UU Pemilu.
Jakarta, MKOnline - Seusai Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan sidang perkara No.110-111-112-113/PUU-VII/2009 Pengujian UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu), Ketua MK Moh Mahfud MD menggelar konferensi pers, Jumat (7/8) di lantai 15 Gedung MK.
Pada kesempatan tersebut, Mahfud mengatakan MK tidak menilai atau menguji putusan MA dan Peraturan KPU, karena hal itu merupakan kewenangan konstitusional masing-masing lembaga tersebut. Namun, menurut Mahfud, putusan MA dan Peraturan KPU menjadi tidak berlaku dengan sendirinya karena batu uji judicial review yang dilakukan oleh MA dan dasar kewenangan KPU dalam mengatur Pasal 205 Ayat (4), Pasal 211 Ayat (3), dan Pasal 212 Ayat (3) UU No.10/2008 diberi tafsir konstitusional oleh MK sehingga putusan judicial review oleh MA itu kehilangan dasar pijakannya. “Bukan karena judicial review itu salah,” jelasnya.
Putusan yang memberi tafsir konstitusional ditetapkan oleh MK karena dalam kenyataannya pasal-pasal tersebut menimbulkan multitafsir sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan dalam pembagian kursi hasil pemilu. Ketidakpastian hukum dan ketidakadilan itu bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus diluruskan dengan tafsir konstitusional.
Putusan MK berlaku sejak diucapkan dengan konsekuensi diberlakukan pada hasil pemilu tahun 2009 ini. “Tak perlu diperdebatkan istilah retroaktif (berlaku surut) atau prospektif (berlaku ke depan). Itu adalah istilah akademis yang perdebatan teorinya bisa panjang meski jawabannya bisa sederhana,” ujar Mahfud. Menurutnya, kalau istilah prospektif selalu diartikan tak bisa membatalkan keputusan yang sudah ada sebelum adanya vonis, maka itu salah, karena akan berarti semua vonis tidak akan ada gunanya sebab yang diperkirakan sudah pasti keputusan atau peraturan yang sudah ada sebelumnya yang justru telah menimbulkan kerugian atau pelanggaran hak konstitusional.
Sementara itu, ada istilah "ex tunc" yang berarti menyatakan batal (retroaktif) dan ada istilah ex nunc yang berarti membatalkan (prospektif). Jika ex tunc maka keputusan yang dibatalkan dianggap tidak pernah ada sejak awal sehingga akibat-akibat yang ditimbulkannya harus dipulihkan melalui penempatan pada jabatan atau pemberian ganti rugi dan kompensasi. Jika "ex nunc", maka keputusan yang dibatalkan dianggap tak boleh diteruskan dan harus dihentikan sejak diucapkannya vonis. Dengan demikian, baik vonis yang retroaktif maupun yang prospektif dalam kasus ini sama-sama menghendaki dihentikannya seketika pelaksanaan keputusan yang dibatalkan. “Masalahnya hanya tergantung pada harus ada pemberian ganti rugi dan kompensasi atau tidak,” urai Mahfud.
Vonis prospektif dan non-retroaktif terkait juga dengan sifat keputusan atau peraturan yang dibatalkan. Jika yang dibatalkan itu bersifat einmalig atau sekali jadi, maka sifat prospektif itu berarti bahwa untuk selanjutnya tak boleh lagi ada keputusan atau peraturan seperti yang dibatalkan. Tetapi jika keputusan atau peraturan yang dibatalkan itu terkait dengan keadaan yang berkelanjutan, seperti keanggotaan di parlemen dalam periodisasi tertentu, maka sifat prospektif itu berarti harus segera menghentikan kelanjutan dan akibat-akibat dari keputusan atau peraturan yang dibatalkan itu.
Teori apapun yang akan dipakai dalam kasus Pasal 205, 211, dan 212 tersebut maka vonis MK ini harus dilaksanakan bagi hasil pemilu legislatif 2009 atau sejak sekarang tanpa harus dipolemikkan kaitannya dengan istilah prospektif dan retroaktif. Polemik tentang prospektif dan retroaktif tak ada relevansinya dengan kasus ini,” ujar Mahfud di akhir konferensi press. (Yazid/MH)