PHPU Pilpres: Adu Alat Bukti dengan KPU, Kubu Mega Kembali Persoalkan DPT
Jumat, 07 Agustus 2009
| 18:32 WIB
Suasana pembuktian dalam sidang sengketa pilpres.
Jakarta, MKOnline - Usai Pemohon dari pasangan capres/cawapres Jusuf Kalla-Wiranto menyerahkan alat bukti, giliran kuasa hukum capres/cawapres Megawati-Prabowo sebagai Pemohon 2 yang juga mengajukan alat bukti. Suasana sidang perkara Nomor 109/PHPU.B-VII/2009 yang mengagendakan uji alat bukti ini sempat memanas karena masing-masing pihak teguh pada argumentasi masing-masing. Pemohon 2 mempermasalahkan penggelembungan suara yang dilakukan oleh pasangan capres dan cawapres nomor urut 2. Menurut kuasa hukum Pemohon, Arteria Dahlan, dkk., pada hari pemilihan 8 Juli lalu, tim sukses Mega-Pro merekapitulasi hasil suara dengan berbasis SMS yang ternyata hasilnya berbeda dengan perhitungan suara yang dilakukan oleh KPU.
“Ada beberapa selisih suara. Tak hanya itu, kami juga tidak mendapat form C1 di beberapa daerah,” jelas Pemohon.
Hal ini disanggah oleh kuasa hukum KPU dari JPN, Yoseph Suardi Sabda yang menunjukkan beberapa tumpuk bukti KPU. “Ini semua hasil rekapitulasi sah yang ditandatangani. Jika data ini tidak benar, maka sanksinya bisa masuk penjara,” tegas Yoseph.
Kuasa hukum Pemohon tampaknya agak tersinggung dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh Yoseph. “Majelis Hakim, apa maksud kuasa hukum dari KPU dengan mengutarakan kata ‘pidana’ dan ‘penjara’ sejak persidangan yang lalu?” tanya kuasa hukum Pemohon.
Majelis Hakim Konstitusi Abdul Mukthie Fadjar yang memimpin sidang berusaha menengahi keduanya. “Pemohon dan Termohon tetap tenang. Kita anggap saja pernyataan Pemohon tadi sebagai intermezzo,” jelas Mukthie.
Pemohon juga mempersoalkan mengenai undangan KPU pada 6 Juli 2009 untuk merevisi DPT. “Ternyata KPU tidak melakukan revisi seperti tertulis dalam undangan yang diberikan kepada kami,” jelas Pemohon.
Pernyataan Pemohon pun diluruskan oleh KPU yang menyatakan bahwa undangan tanggal 6 Juli tersebut merupakan pengecekan bersama sebagai respon atas kedatangan dua pasangan capres/cawapres nomor urut 1 dan 3 ke KPU. “Pada pertemuan itu kami menjelaskan pada kedua pasangan calon bahwa softcopy DPT by name yang ada di KPU bisa berbeda dengan di KPU Kabupaten/Kota,” jelas Termohon.
Majelis Hakim pun mempertanyakan apakah pada 6 Juli 2009 tersebut KPU merevisi DPT. “Apakah pada tanggal 6 Juli tersebut KPU merevisi DPT? Padahal seharusnya revisi DPT dilakukan 30 hari sebelum pemilihan,” jelas Mukthie.
Menanggapi pertanyaan Majelis Hakim, KPU menjelaskan bahwa pihaknya telah menetapkan DPT pada 31 Mei 2009. “Namun pada tanggal 8 Juni, kami merevisi karena ada masukan dari Panwaslu di beberapa daerah,” jelas Termohon.(Lulu A/MH)