Jakarta, MKOnline - Suasana sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) tidak seperti biasanya. Ratusan wartawan dan pendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mengajukan keberatan atas hasil pemilihan presiden 2009, meramaikan gedung MK dalam sidang perdana permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden, Selasa (4/8/2009).
Agenda sidang adalah pemeriksaan perkara pertama kali. Sembilan hakim konstitusi semua terlibat dalam Pleno Hakim yang dipimpin Mahfud MD sebagai pimpinan sidang. Sementara Pemohon perkara No. 108/PHPU.B-VII/2009 dan 109/PHPU.B-VII/2009 tersebut adalah pasangan Jusuf Kalla dan Wiranto, dan pasangan Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto. Bertindak sebagai Panitera Pengganti adalah Cholidin Nasir, Pan Mohamad Faiz, Yunita Ramadhani, Makhfud, Mardian Wibowo, dan Lutfi Widagdo Eddyono.
Sidang dimulai pukul 14.00 WIB. Karena pengunjung sidang yang membludak, MK menyediakan sejumlah monitor televisi tambahan di luar ruang sidang dan di aula gedung MK.
Kuasa Pemohon pasangan JK-Wiranto adalah Chairuman Harahap, Elza Syarief, Victor W Nadapdap, Andi M Asrun, Djasri Marin, Nudirman Munir, Linda Sugianto, Bonaran Situmeang, Purwoko J Sumantri, Dorel Almir, Rufinus, Syamsul Huda, Ali Abbas, Zujan Marfa, Teguh Samudera, dan Bachtiar Wahid. Sementara Kuasa Pemohon pasangan Megawati-Prabowo adalah Arteria Dahlan, Mahendradatta, Mohamad Assegaf, Jack Sidabutar, Yosse Yuliandra, dan Yuherman.
Pihak Termohon diwakili Tim Kuasa Hukum yang terdiri dari 32 orang Jaksa Pengacara Negara (JPN). Hadir pula Pihak Terkait dari pasangan SBY-Boediono. Kuasa hukum pasangan SBY-Boediono yang juga diberi kesempatan Majelis Hakim untuk memperkenalkan diri. “Pak SBY memberi surat kuasa khusus kepada kami pada tanggal 31 Juli 2009,” ujar kuasa hukum SBY-Boediono.
Setelah masing-masing kuasa hukum para pihak mengenalkan diri, Arteria Dahlan, kuasa hukum Megawati-Prabowo menginterupsi persidangan. “Kami menolak JPN mewakili KPU. Alasannya, di samping untuk menjaga independensi KPU, juga tidak ada perundang-undangan yang mengaturnya. Selain itu, jaksa bertanggungjawab pada Presiden RI. JPN hanya bisa mewakili untuk perkara perdata dan PTUN,” ujar Arteria beralasan.
Syamsul Bahri, Komisioner KPU yang hadir di persidangan, ketika diberi kesempatan menanggapi, mengatakan bahwa KPU memberi kuasa pada Kejaksaan Agung sejak perkara pemilu legislatif. Lalu, kuasa hukum Termohon menambahkan bahwa Pemohon salah dalam membaca UU. “Pasal 30 ayat 2 UU Kejaksaan menyatakan bahwa Kejaksaan dapat mewakili negara,” ujar kuasa KPU. Dituturkan pula, JPN dibiayai dengan biaya paling ringan, bahkan tanpa biaya sama sekali.
Perdebatan seputar boleh tidaknya JPN menjadi kuasa hukum KPU dilerai pimpinan sidang dengan meminta agar para pihak lebih memfokuskan pada materi permohonan. “Apakah dengan demikian persoalan ini menjadi putusan sela?” interupsi kuasa Pemohon. Hakim konstitusi Arsyad Sanusi menanggapi, “Ini bukan putusan sela, sebab Indonesia tidak menganut sistem hukum seperti di Negara Belanda,” tegasnya. (Yazid/MH)