Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar persidangan uji materi terhadap UU 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pileg) yang diajukan oleh Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan calon anggota legislatif (caleg) dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Senin (3/8) di ruang sidang Pleno MK.
Partai Hanura, PKS dan para caleg PPP memohonkan kepada MK untuk menguji materi Pasal 205 ayat (4) UU 10/3008 yang berbunyi “Dalam hal masih terdapat sisa kursi dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap kedua dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada Partai Politik Peserta Pemilu yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari BPP DPR.”
Sedangkan partai Gerindra memohonkan pengujian materi Pasal 205 ayat (4) dan Pasal 212 ayat (3). Adapun Pasal 212 ayat (3) berbunyi “Dalam hal ini masih terdapat sisa kursi setelah dialokasikan berdasarkan BPP DPRD, maka perolehan kursi partai politik peserta pemilu dilakukan dengan cara membagikan sisa kursi berdasarkan sisa suara terbanyak satu persatu sampai habis.”
Para Pemohon mendalilkan bahwa pasal tersebut tidak memberikan kepastian hukum dan mengakibatkan multitafsir terhadapnya. “Pasal 205 ayat (4) dapat menyebabkan penghitungan ganda, karena suara yang telah dikonversi menjadi kursi pada perhitungan perolehan kursi Tahap Pertama (BPP 100%) dihitung lagi sebanyak syarat masuk kedalam perhitungan perolehan kursi tahap kedua karena dianggap masuk kedalam kriteria sekurang kurangnya 50%. Akibatnya pasal tersebut kabur dan bertentangan dengan rasa keadilan,” kata Mahendradatta selaku kuasa hukum Gerindra.
“Terjadinya penghitungan ganda dalam perhitungan kursi DPR dimana partai yang mendapatkan kursi pertama secara otomomatis mendapat kursi pada tahap kedua tanpa perlu membandingkan sisa suaranya dengan perolehan partai yang suaranya tidak melebihi BPP melanggar prinsip one man one vote. Tafsir seperti itu tidak kompatibel dengan sistem proporsional. Metode MA seperti ini sungguh aneh,” ungkap Wakil Kamal selaku kuasa hukum para caleg PPP.
“Hilangnya kursi Hanura di DPR dapat ditafsirkan hilangnya suara rakyat yang telah memilih Hanura. Perubahan penghitungan suara semenjak putusan MA dan dilakukan oleh KPU justru mengakibatkan parpol menengah dan baru terutama Hanura akan kehilangan kursi, baik di DPR maupun di DPRD,” ujar Elsa Syarief selaku kuasa hukum partai Hanura.
Sedangkan untuk PKS, Refly Harun selaku kuasa hukum PKS menginginkan adanya tafsir MK terhadap pasal 205 ayat (4). “Kami tidak meminta MK membatalkan pasal tersebut, kami hanya memohon agar MK menyatakan konstitusional bersyarat untuk pasal tersebut,” katanya kepada Majelis Hakim.
Petitum Pemohon yang dimohonkan pada MK mengingikan agar permohonan dikabulkan untuk seluruhnya dan menyatakan bahwa Pasal 205 ayat (4) UU 10/2008 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Sisa kursi bukan sisa suara
Dalam persidangan pengujian ketentuan penghitungan perolehan kursi tahap kedua ini dihadiri pihak DPR, Pemerintah dan ketua KPU untuk memberikan keterangan. Pihak Pemerintah memberikan keterangan bahwa apakah telah tepat alasan untuk menguji konstitusionalitas pasal 205 ayat (4) seperti yang dimohonkan oleh para Pemohon. “Pihak pemerintah juga menyerahkan putusan seadil-adilnya kepada MK dalam masalah ini,” kata Agung Mulyana.
Pihak DPR yang diwakili oleh Nursyahbani Katjasungkana mengatakan bahwa pihak DPR tidak sepakat dengan permohonan Pemohon karena sudah jelas ketentuan dalam pasal a quo tidak mengakibatkan multitafsir. “Semua yang terjadi seperti ini akibat dari tafsiran KPU dan MA. Dalam pasal a quo sudah tegas bahwa yang tertulis adalah sisa kursi bukan sisa suara,” ujarnya
Sedangkan Feri Mursyidan selaku mantan ketua Pansus mengatakan bahwa materi yang dibahas di DPR terkait pasal 205 ayat (4) begitu panjang. “Terjadi kesepakatan bahwa yang dikehendaki bersama adalah frasa sisa kursi. Selain itu, dengan tegas disebut pula frasa yang memperoleh suara bukan sisa suara,” ungkapnya.
Deviasi proporsionalitas
Selain mendengar keterangan pemerintah dan DPR, sidang perdana pemeriksaan perkara ini juga langsung mendengarkan keterangan sejumlah ahli. Ahli yang hadir di antaranya Direktur Cetro Hadar Gumay, ahli politik UI Eep Saifullah Fatah, dan peneliti CSIS J. Kristiadi. Ketiga ahli tersebut dihadirkan oleh MK. Selain itu, dihadirkan pula para ahli Pemohon, yakni Saldi Isra dari Hanura, Dr. Bernard L Tanya, Dr. M. Sholehuddin dan Samuel Lena dari partai Gerindra.
Dalam persidangan, Eep menjelaskan mengenai perolehan suara dan kursi dalam pendekatan sistem proporsionalitas dan demokrasi. “Bicara Pemilu harus bicara sarana dan bukan hanya pada tujuan serta bagaimana implementasi semua instrumennya. Setelah putusan MA terdapat deviasi yang besar terhadap partai besar yakni partai Demokrat sedangkan Hanura semakin minus sampai 20%. Proporsionalitas adalah tidak mematikan partai menengah dan kecil dan semakin membesarkan partai besar,” terangnya.
Dalam kesimpulannya, Eep menambahkan bahwa aturan penetapan kursi bukan tujuan tapi merupakan sarana untuk membangun keterwakilan dan akuntabilias melalui Pemilu. “Tidak hanya asas hukum dan kepastian hukum saja, tapi harus mewakili asas prporsionalitas,” tambahnya.
Menurut keterangan J Kristiadi sistem Pemilu di negara ini telah proporsional secara konsep tapi pelaksanaanya tidak. “Proprsional murni tidak menganut asas one man one vote dan one value. Saya kira di Pemilu tahun 2009 ini aspek proporsional telah dipangkas oleh MK setelah dihilangkannya nomor urut caleg. Sedangkan deviasi yang terjadi dalam sitem proporsionalitas tidak bisa berjalan dengan regulasi yang multitafsir apalagi dengan putusan MA yang sangat aneh dan kontroversial,” ujarnya.
Hadar Gumay selaku Ahli juga menerangkan tentang proses hitung kursi DPR untuk tahap dua. “Penentuan penghitungan terlebih dahulu adalah dihitung perolehan sisa suara setiap parpol tahan pertama. Kemudain tahap kedua kursi sisa diberikan pada parpol yang memiliki BPP lebih dari 50% suara. Secara nasional putusan MA mengakibatkan partai besar semakin banyak mendapatkan kursi dan partai kecil semakin kecil pula perolehan suaranya,” ungkapnya.
Sementara itu Saldi Isra selaku Ahli Hanura memberikan penjelasan mengenai ketidakpastian sistem Pemilu yang diamanatkan UUD dan harus dirumuskan melalui Undang-Undang Pemilu yang mengaturnya. “Sistem Pemilu adalah legal policy yang dibuat oleh DPR. Sedangkan KPU berwenang mengeluarkan Peraturan KPU Nomor 15/2009 karena sesuai amanat UU Pemilu,” katanya.
Lebih lanjut, Saldi menambahkan bahwa misteri frasa sisa suara memang tidak muncul pada Pasal 205 ayat (4). “Seperti kita ketahui bahwa dalam Pasal 205 ayat (3)dan (4), Pasal 212 ayat (3) terdapat frasa sisa suara yang mengikuti frasa sisa kursi. Hal inilah yang menjadi pertanyaan kita semua,” ungkap Saldi dengan nada tanya.
Semua ini menurut Saldi memiliki implikasi terdapatnya ketidakpastian hukum, serta mengabaikan keadilan dalam proses Pemilu. “Putusan MA tidak hanya menguji Peraturan KPU, tapi telah masuk pada sengketa hasil Pemilu yang menjadi wewenang MK. Saya menyimpulkan bahwa MK dapat menafsirkan frasa suara pada pasal 205 ayat (4) menjadi frasa sisa suara. Dengan begitu tidak ada yang salah dengan Peraturan KPU,” tegasnya.
Setelah mendengar semua keterangan baik pihak Pemohon, Terkait dan keterangan Ahli, Mahkamah mengakhiri persidangan uji materi ini. (RNB Aji/MH)