âMK Tidak Menguji Putusan MAâ
Jumat, 31 Juli 2009
| 09:52 WIB
Ketua MK, Moh. Mahfud MD, saat memberikan keterangan kepada wartawan.
Jakarta, MKOnline - Imbas putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan uji materi calon legislator Partai Demokrat (PD) Zaenal Ma'arif dan Dedy Djamaluddin Malik atas Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 terus meluas. MA melalui Putusannya No. 15 dan 18 P/HUM/2009 menilai pasal 22 huruf c dan pasal 23 ayat (1) dan (3) dalam Peraturan tersebut bertentangan dengan UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD (UU Pemilu), khususnya pasal 205 ayat (4).
Melalui putusan tersebut, MA meminta KPU membatalkan pasal-pasal tentang penetapan calon terpilih pada tahap kedua. KPU juga diharuskan merevisi Keputusan KPU No 259/Kpts/KPU/Tahun 2009 tentang penetapan perolehan kursi. Sebagai pihak yang secara langsung terdampak oleh putusan tersebut, Partai Hanura dan salah satu kader PPP secara perorangan mengajukan permohonan uji materi mengenai Pasal 205 ayat (4) UU Pemilu ke MK.
Menjawab pertanyaan wartawan, pada Kamis (30/7) Mahfud mengatakan bahwa yang boleh mengajukan uji materiil UU Pemilu adalah partai yang saat ini tidak masuk dan belum menduduki kursi di DPR. “Partai-partai akan kita tolak apabila partai tersebut pada periode lalu ikut membuat UU itu. Semisal PPP tidak boleh secara partai mengajukan karena termasuk ikut membuat UU Pileg,” terang Mahfud kepada wartawan di ruang kerjanya.
Menurut Mahfud, permohonan tersebut diajukan ke MK disebabkan adanya ketidakpastian hukum karena UU Pemilu dianggap memiliki lebih dari lima tafsir. “Ada empat Putusan MA yang katanya terdapat tiga di antara putusan tersebut (dianggap) ada yang bertentangan (dengan UU Pemilu). Lalu ada pembatalan peraturan KPU, satu lagi putusan MK tentang Pasal 205 UU 10/2008,” lanjutnya.
Berdasarkan asas hukum, hal tersebut menurut Mahfud telah melanggar asas lex certa yakni tentang kepastian yang berarti ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tidak dapat diartikan lain. Dengan adanya lebih dari lima tafsir mengenai ketentuan tersebut, terdapat pertentangan dengan Pasal 28J UUD 1945 tentang kepastian hukum.
“Oleh sebab itu, apabila dalam UU 10/2008 terutama mengenai Pasal 205 menimbulkan banyak tafsir dapat dapat diuji di MK karena menimbulkan ketidakpastian hukum. Jadi itu dalilnya,” ungkap Mahfud.
Apabila MK nantinya membatalkan Pasal 205 ayat (4), lanjut Mahfud, maka putusan mengenai semua hal yang terkait dengan itu tidak berlaku dan tidak mengikat secara hukum, termasuk putusan MK yang terdahulu.
“Kalau MK tidak mengabulkan, maka putusan MA harus berjalan dan dijalankan sesuai dengan isinya. Jadi, masyarakat jangan salah opini karena semua akan diuji MK secara fair dan MK langsung mengundang semua pihak, yakni dari pihak Pemerintah, DPR, KPU dan Pemohon yang berkepentingan. Semuanya demi stabilitas dan kepastian hukum, serta menjaga jadwal ketatanegaraan yang sedang berlangsung, sehingga MK akan menyidangkan secepatnya,” kata mantan Menteri Pertahanan di era Gus Dur tersebut.
Akan tetapi, Mahfud menegaskan bahwa yang diuji materi oleh MK adalah Pasal 205 ayat (4) UU Pemilu, bukan Putusan MA. “Menguji putusan MA itu bukan kewenangan MK. MK tidak boleh menilai putusan MA karena putusan tersebut secara yuridis mengikat,” tegasnya. Mahfud juga mengingatkan bahwa saat ini masyarakat tidak perlu ribut-ribut lagi. Hal itu penting mengingat MK akan segera menyidangkan uji materi tersebut pada Senin (3/8) mendatang. (RNB Aji/MH)