Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan perkara pengujian Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Senin (27/7), di Ruang Sidang Pleno, Gedung MK. Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 106/PUU-VII/2009 diajukan oleh Drs. Arukat Djaswadi.
Melalui kuasa hukumnya, Sumali, S.H., M.H, dan Ikhwan Fakhruroji, S.H., Pemohon memohon agar Pasal 43 huruf b UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pemohon mendalilkan Pasal 43B sepanjang kalimat: “sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara dinyatakan tidak berlaku” telah merugikan hak konstitusional Pemohon. “Ketentuan dalam Pasal 43B UU No. 20 Tahun 2001 secara objektif materi muatannya inkonstitusional kerena korelatif (causa verband) telah menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon yakni memperoleh jaminan untuk mendapatkan kepastian hukum seperti yang diatur dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945,” jelas Sumali selaku kuasa hukum Pemohon.
Sumali juga menjelaskan bahwa redaksi Pasal 43B UU Nomor 20 Tahun 2001 secara empiris telah menimbulkan ketidakpastian hukum akibat ketidakjelasan rumusan pasal UU tersebut. “Redaksi kalimat pasal a quo bisa menimbulkan lebih dari satu makna bahkan kontradiktif,” jelas Sumali.
Tafsiran ganda tersebut, yakni penafsiran teologis yang menyatakan bahwa pasal tersebut tidak bermaksud menghapus UU Nomor 27 Tahun 1999. Hal ini karena tidak mungkin pasal tersebut yang materi muatannya mengenai kejahatan terhadapa kemanan negara dari aspek ekonomi justru overlapping merambah dan menganulir UU Nomor 27 Tahun 1999 yang mengatur kejahatan negara dari aspek politis dan ideologis. Kedua, penafsiran tekstual-gramatikal yang menyatakan bahwa pasal tersebut secara tekstual dapat dimaknai sebagai ketentuan yang dimaksudkan untuk menghapus keberlakuan UU Nomor 27 Tahun 1999.
Selain itu, redaksi pasal tersebut sepanjang menyangkut frase tersebut di atas secara potensial mendorong terjadinya anomali hukum atau situasi ketidakpastian hukum. Bukti empiris tejadinya anomali hukum terdapatnya dualisme hukum yang kontradiktif mengenai larangan penyebaran leninisme.
Majelis Hakim Konstitusi yang terdiri dari M. Arsyad Sanusi, Maria Farida Indarti, dan Harjono memberikan nasihat kepada Pemohon untuk merenungkan kembali permohonannya. Menurut Arsyad, Pemohon salah menafsirkan maksud dari bunyi Pasal 43B sepanjang frasa yang diujikan.
“Yang tidak berlaku dalam Pasal a quo, bukan UU Nomor 27 Tahun 1999. Akan tetapi, Pasal 209, Pasal 210, Psal 387, Pasal 388, Pasal 415 sampai dengan Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana,” jelas Arsyad.
Hakim Konstitusi Harjono menambahkan bahwa sebenarnya Pemohon tidak perlu merasa ketakutan berlebihan karena pasal tersebut tidak menghapuskan UU Nomor 27 Tahun 1999. “Pemohon mungkin merasakan traumatik hingga ada kekhawatiran yang berlebihan. Akan tetapi, sesungguhnya kekhawatiran tersebut tidak perlu karena UU Nomor 27 Tahun 1999 sama sekali tidak dicabut dalam pasal a quo,” tambah Harjono.
Sementara, Hakim Konstitusi Maria Farida Indarti menyarankan jika Pemohon masih ingin meneruskan permohonannya, maka legal standing Pemohon harus diperjelas. “Pemohon harus menjelaskan hak konstitusional Pemohon apa yang dirugikan oleh Pasal a quo, ini untuk memperkuat legal standing Pemohon. Kalau hanya karena rasa traumatik tidak memperkuat legal standing Pemohon,” jelas Maria.
Majelis Hakim Konstitusi memberi waktu 14 hari bagi Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. (Lulu A./MH)