Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) memutus menolak permohonan yang diajukan oleh Rizal Ramli pada Rabu (22/7), di Ruang Sidang Pleno MK. Demikian amar putusan Nomor 7/PUU-VII/2009 yang dibacakan dalam persidangan terbuka untuk umum oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD, selaku Ketua merangkap Anggota, Abdul Mukthie Fadjar, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, Maruarar Siahaan, Harjono, M. Akil Mochtar, M. Arsyad Sanusi dan Achmad Sodiki, masing-masing sebagai Anggota.
Pemohon mendalilkan Pasal 160 KUHP bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pemohon beralasan bahwa norma yang dikandung dalam Pasal 160 KUHP bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena ketentuan pasal tersebut bersifat sangat lentur, subjektif, dan bergantung interpretasi penguasa yang pada akhirnya dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam praktik penegakan hukum pidana. Pemohon juga mendalilkan rumusan pasal tersebut dapat berdampak merusak nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia dengan mencederai kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Selain itu, Pemohon juga menganggap ketentuan Pasal 160 KUHP dapat menghambat setiap orang untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Prinsip Negara Hukum
Terhadap permasalahan utama apakah Pasal 160 KUHP sesuai dengan kedudukan Indonesia sebagai negara merdeka berdasarkan UUD 1945 yang menjunjung hak asasi manusia sebagai salah satu prinsip dalam negara hukum, Mahkamah berpendapat meskipun pasal 160 KUHP lahir pada masa kolonial Belanda, tetapi substansi norma yang terkandung dalam pasal tersebut tetap sejalan dengan prinsip-prinsip negara berdasarkan hukum, karena norma dalam pasal yang diuji memuat prinsip universal yang tidak mungkin dinegasikan oleh negara-negara beradab yang menjunjung tinggi hukum.
“Nilai hukum yang hendak dilindungi adalah memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat dari perbuatan menghasut supaya orang lain melakukan perbuatan pidana, menghasut orang supaya melakukan kekerasan terhadap penguasa umum, atau tidak menuruti perintah Undang-Undang atau perintah jabatan,” jelas Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi.
Begitu pula dalil pasal 160 KUHP lentur dan mudah ditafsirkan menurut selera penguasa, Mahkamah berpendapat itu adalah terkait dengan penerapan norma. Substansi pasal tersebut bersifat universal, yakni melarang orang menghasut untuk melakukan tindak pidana, masih tetap sesuai dengan kebutuhan hukum Indonesia saat ini. Meskipun demikian, Mahkamah berpendapat dalam penerapannya pasal tersebut harus ditafsirkan sebagai delik materiil dan bukan sebagai delik formil.“Dengan demikian, dalil Pemohon yang menyatakan pasal a quo lentur, subjektif, dan bergantung pada selera penguasa adalah tidak tepat menurut hukum,” tegas Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi
Beda dengan Kritik
Mengenai dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 160 KUHP berdampak merusak nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia dengan mencederai kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Menurut Mahkamah, dalam negara demokrasi, semua warga negara mempunyai hak untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat baik dengan lisan atau tulisan.
Dalam hal ini harus dibedakan antara pelaksanaan hak untuk mengeluarkan pendapat dengan lisan atau tulisan yang dapat berupa kritikan kepada pemerintah dan tindakan menghasut. “Menyampaikan kritik kepada pemerintah secara lisan ataupun tulisan atau bahkan unjuk rasa tidak dilarang menurut ketentuan pasal a quo karena merupakan bagian dari hak setiap warga negara dan karenanya mendapat perlindungan hukum,” jelas Arsyad.
Lebih lanjut Mahkamah juga menyatakan Pemohon tetap bebas memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negara sepanjang tidak dilakukan, salah satunya dengan cara-cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 KUHP. “Hak konstitusional Pemohon tidak dihalangi oleh ketentuan Pasal 160 KUHP karena pasal a quo hanya berkaitan dengan larangan menghasut untuk melakukan kekerasan kepada penguasa umum, menghasut untuk melakukan tindak pidana, menghasut untuk melanggar Undang-Undang, atau menolak perintah jabatan yang diberikan oleh Undang-Undang,” tambah Arsyad.
Dalam pertimbangannya, MK sependapat dengan rumusan delik dirubah menjadi delik materiil sebagaimana konsep Rancangan KUHP. “Menurut keterangan Ahli Pemerintah, konsep rancangan KUHP meskipun tetap memuat ketentuan tindak pidana yang serupa, formulasi deliknya tidak lagi berupa delik formil melainkan diubah menjadi delik materiil. Perkembangan tersebut menunjukkan terjadinya kecenderungan perubahan sekaligus pembaharuan politik hukum pidana ke arah perumusan delik yang tidak bertentangan dengan semangat mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasar atas hukum yang merupakan jiwa UUD 1945,” jelas majelis hakim.
Dalam konsklusi putusannya, Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 160 KUHP adalah conditionally constitutional atau konstitusional bersyarat. Artinya, pasal tersebut konstitusional sepanjang ditafsirkan sebagai delik materiil. (Lulu A./mh)