Mahasiswa Magister Hukum Unissula Semarang Kuliah Hukum Bersama Hakim Konstitusi
Rabu, 22 Juli 2009
| 09:35 WIB
Hakim Konstitusi Ahmad Sodiki memberikan kuliah kepada para mahasiswa Unissula di gedung MK, Jakarta.
Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) menerima kunjungan mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung (Unisula) Semarang, Selasa (217) di Aula MK. Kunjungan itu merupakan salah satu langkah pendidikan tinggi untuk memperdalam masalah hukum beracara di MK.
Hakim Konstitusi Ahmad Sodiki dalan penerimaan kunjungan tersebut menjelaskan mengenai hukum beracara di MK, karena banyak juga para advokat ataupun lawyer yang masih belum tentu berpengalaman bersidang di MK.
“Di MK setiap orang bisa beracara di sini. Di MK juga tidak mengenal biaya perkara permohonan, dengan kata lain tidak dipungut biaya. Berbeda dengan di pengadilan umum, menurut Sodiki biasanya ada advokat yang dikeluarkan dari persidangan karena belum mengucap sumpah sebagai advokat,” katanya.
Selanjutnya, Ahmad Sodiki menjelaskan bahwa MK dalam memutus perkara tidak terlepas dari pendekatan filosofis, teoritik dan aspek formalnya. Sebagai contoh, ia menerangkan tentang nilai filosofis yang memiliki substansi ketika pengajuan perselisihan hasil pemilukada Bengkulu.
“Saya waktu itu dissenting opinion (berbeda pendapat) karena calon pasangan yang menjadi Pihak Terkait adalah telah dipenjara 5 tahun. Para hakim dalam Rapat Permusyawaratan Hakim berargumen bahwa calon yang pernah dihukum penjara lima tahun tidak bisa mengikuti pemilukada. Sedangkan saya berpendapat hal itu tidak ada permasalahan karena dia telah dihukum di LP Cipinang. Jadi setelah menjalani hukuman ya tidak ada permasalahan untuk ikut dalam pemilukada,” tuturnya.
Menanggapi pertanyaan dari mahasiswa yang mempertanyakan apakah dissenting opinion dapat dijadikan kekuatan hukum, Ahmad Sodiki menjelaskan bahwa yang menjadi kekuatan hukum adalah putusan Mahkamah.
“Perbedaan pendapat adalah hal biasa dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) para hakim. Itu semua karena ada pendekatan filosofis, teoritik, dan aspek formal masing-masing hakim. Tapi terdapat kecenderungan bahwa Mahkamah tidak ingin terjebak dalam formalitas. Jadi unsur nilai filosofis yang berbobot dan substansial hal yang penting pula. Hal itu bisa dilihat dan dianalisa dari putusan MK,” tegasnya.
Sementara itu, Saiful Hadi yang juga merupakan mahasiswa Unisula menyatakan bahwa apabila MK tidak membatasi dan mengklasifikasi permohonan, maka MK akan kebanjiran permohonan. Jadi, MK membutuhkan pembatasan untuk permohonan apa saja yang dapat diproses di MK.
Menurut Ahmad Sodiki, permohonan yang begitu melonjak tinggi adalah hal yang biasa dan merupakan konsekuensi dari negara demokrasi. “Mahkamah dalam menerima permohonan harus memeriksa semua permohonan. Mahkamah tidak mencari-cari perkara sehingga ada permohonan perkara masuk, maka tidak tepat apabila Mahkamah menolaknya,” terang Ahmad Sodiki. (RNB Aji/MH)