Uji UU Pemda: Aturan Koalisi Dalam Pemilukada Digugat di MK
Selasa, 21 Juli 2009
| 11:27 WIB
Para pengunjung (di balkon atas) mengikuti sidang uji UU Pemda yang dimohonkan oleh Christian Nehemia dan Zacharias Paulus M. yang diwakili kuasa hukumnya (bawah).
Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Selasa (21/7), di Gedung MK. Sidang perkara yang teregistrasi dengan Nomor 103/PUU-VII/2009 ini dimohonkan oleh Christian Nehemia Dellak, S.H., dan Zacharias Paulus Manafe, S.H., yang diwakili kuasa hukum mereka Jacqson J. Terinathe, S.H.
Pemohon mendalilkan pengujian Pasal 59 ayat (1) huruf (a) dan (b) yang menyatakan bahwa “Peserta pemilihan kepala daerah adalah: (a) pasangan calon yang diusulkan oleh pertain politik atau gabungan parati politik; dan (b) pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang”. Pemohon beralasan bahwa Pasal 59 ayat (1) huruf (a) dan (b) perlu untuk ditegaskan dalam penambahan ayat di dalamnya.
Selain itu, Pemohon meminta kepada MK agar calon yang diusung oleh partai politik dan/atau penggabungan partai politik dilarang untuk bergabung dengan calon perseorangan sehingga tidak merugikan pasangan calon lain yang berasal dari sesama pasangan calon perseorangan dan/atau perseorangan.
Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena pada Pemilukada Kabupaten Rote Ndao (2008 -2013) karena tidak adanya ketegasan dalam penerapan Pasal 59 ayat (10 huruf (a) dan (b). “Pada Pemilukada Rote Ndao yang diadakan 2008 lalu, ada pasangan calon perseorangan yang berkoalisi dengan pasangan calon yang diusulkan partai politik sehingga membuat Pemohon kalah dalam Pemilukada tersebut. Padahal pada putaran pertama, perolehan suara Pemohon memimpin,” jelas Jacqson.
Menanggapi permohonan yang diajukan, Ketua Majelis Hakim Konstitusi Abdul Mukthie Fadjar menegaskan kepada Pemohon bahwa wewenang MK sebatas pada pengujian UU, bukan untuk menambah usulan baru dalam UU seperti yang tercantum dalam posita Pemohon. “MK tidak dapat menambah usulan baru dalam UU karena MK bukan penyusun UU. MK hanya mempunyai wewenang untuk menghapus UU yang bertentangan dengan konstitusi,” tegas Mukthie.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan juga menambahkan bahwa kerugian yang dialami Pemohon karena hak konstitusionalnya yang tercantum dalam UUD 1945 terlanggar. “Jangan karena Pemohon kalah dalam Pemilukada dan kehilangan sejumlah materi akibat hal itu, jadi dianggap hak konstitusionalnya dirugikan,” jelas Maruarar.
Pemohon disarankan oleh Majelis Hakim Konstitusi untuk memperbaiki permohonannya jika ingin melanjutkan. Hakim Konstitusi Achmad Sodiki menyarankan agar Pemohon berhati-hati menyusun permohonan karena dalam permohonan yang diajukan Pemohon terdapat kontradiktif antara posita dan petitum. “Dalam posita, Pemohon meminta MK untuk menambahkan ayat. Sementara dalam petitum, Pemohon meminta MK agar menyatakan Pasal 59 ayat (1) dan huruf (a) dan (b) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” jelas Sodiki.
Majelis Hakim Konstitusi memberi waktu 14 hari (2 minggu) kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya sebelum digelar sidang lanjutan. (Lulu A.)