Uji UU Pilpres: Syarat Capres Terkait Wajib Pajak Dianggap Diskriminatif
Kamis, 16 Juli 2009
| 13:24 WIB
Djamal Doa, Pemohon uji UU Pilpres, dalam sidang Pendahuluan di gedung MK.
Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan permohonan uji materi UU No.42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Prsiden (UU Pilpres) di ruang sidang pleno MK, Kamis (16/7). Permohonan ini dimohonkan oleh H.M. Djamal Doa, Tgk. H. Abdul Hamid dan Lukman Syamra karena merasa hak konstitusionalnya dirugikan terkait berlakunya UU Pilpres.
Norma pasal yang diujikan terhadap UUD 1945 oleh Pemohon kepada MK adalah Pasal 5 huruf k yang berbunyi “Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah melaksanakan kewajiban membayar pajak selama 5 (lima) tahun terakhir yang dibuktikan dengan Surat Pemberitahian Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi”.
Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 5 Huruf k UU 42/2008 yang mensyaratkan bahwa calon Presiden dan Wakil Presiden memiliki NPWP dan melaksanakan pajak selama 5 tahun dengan hanya dibuktikan surat pemberitahuan saja, begitu mudah untuk dilaksanakan.
“Dengan demikian terjadi pendiskriminasian, karena wajib pajak selain calon Presiden begitu panjang dengan harus membayar pajak penghasilan dengan benar. Setelah itu masih harus dilakukan pemeriksaan oleh Ditjen Pajak,” Ungkap Djamal Doa kepada Mahkamah.
Dalam Petitumnya, Pemohon menginginkan agar Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon membatalkan Pasal 5 huruf k UU 42/2008, karena bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2). “Kemudian kami juga memohonkan supaya Pemerintah melalui Presiden mensyahkan kembali UU 42/2008 dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mengundangkannya lagi,” kata Djamal.
Selanjutnya, Majelis Hakim memberikan nasehat kepada Pemohon dalam sidang pemeriksaan perkara ini. “Salah satu makna pasal yang diuji materikan sebenarnya itu apa dan implikasinya terhadap Pemohon seperti apa. Permohonan Pemohon yang menyatakan supaya Presiden mensahkan kembali UU 42/2008 melalui Menteri Hukum dan HAM sebaiknya tidak perlu. Apabila pasal dibatalkan tidak perlu lagi disahkan kembali karena secara otomatis tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” kata hakim M. Arsyad Sanusi dalam persidangan.
Sementara itu Hakim Konstitusi Harjono mempermasalahkan legal standing (kedudukan Pemohon), karena sebelum masuk substansi permohonan, kedudukan Pemohon harus kuat. “Dalam Pemohonan uji materi ini di MK, apakah memang betul UU 42/2008 merugikan hak konstitusi para Pemohon,” ujarnya. Selain itu, Harjono dalam nasehatnya mengungkapkan bahwa permintaan Pemohon adalah membatalkan Pasal 5 huruf k, sehingga apabila MK menbatalkan pasal tersebut bukankah semakin memudahkan persyaratan calon Presiden karena tidak lagi ada persyaratan mengenai NPWP dan Pemeriksaan terhadap pajak. (RNB Aji/MH)