Forum Komunikasi Calon Advokat Indonesia Menggugat UU Advokat
Selasa, 14 Juli 2009
| 16:20 WIB
Abraham Amos (ketiga dari kiri) saat menyampaikan permohonan pengujian UU Advokat pada sidang di MK.
Jakarta, MKOnline - Konflik antara Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI) merugikan para calon advokat yang hendak bersidang di pengadilan. Banyak yang diusir dari pengadilan ketika hendak beracara karena permasalahan tidak adanya atau seorang advokat belum dilantik dan diambil sumpahnya oleh Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya.
“Konflik semua ini merupakan egosentrisme dan pertikaian senior. Kami tidak lagi diperjuangkan dan semua ini bukan teladan. Kami merasa kepentingan keduanya adalah hasutan, agitasi dan telah menginjak-injak kode etik advokat yang berpengaruh negatif,” demikian ungkap Abraham Amos sebagai wakil dari Forum Komunitas Calon Advokat Indonesia dalam persidangan uji materi UU 18/2003 tentang Advokat di Ruang Sidang Pleno MK, Selasa (14/7).
Pemohon menguji materikan tiga pasal UU a quo kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 2 ayat (3) yang berbunyi “Salinan Surat Keputusan Pengangkatan Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disampaikan kepada Mahkamah Agung dan Menteri,” kemudian Pasal 4 ayat (1) berbunyi “Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya,” dan Pasal 4 ayat (3) yang berbunyi “Salinan berita acara sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dikirimkan kepada Mahkamah Agung, Menteri, dan Organisasi Advokat.”
Dalil Pemohon dalam pengajuan perkara ini antara lain menyangkut pengabilan sumpah dan praktek beracara di pengadilan. “Pengambilan sumpah advokat yang hanya bersifat deklaratif telah menjadi dilematika karena diwujudkan dalam bentuk konstittutif dan bersifat parsialistis sehingga pengertiannya menjadi rancu dalam tekstual ucapan dan kontekstual kosakata bahasa Indonesia yang baik dan benar,” kata Abraham kepada majelis hakim di persidangan.
Selain itu, lanjut Abraham terdapat kerugian secara psikologis akibat diterapkannya UU 18/ 2003 yakni para Pemohon menjadi tertekan dan frustasi, bahkan cenderung depresif karena tidak memiliki akses atau kesempatan menangani perkara di pengadilan umum. “Kami tidak dipercaya oleh klien karena tidak memiliki identitas yang jelas tentang status advokat,” ujarnya.
Dalam petitumnya, pemohon meminta kepada MK agar menyatakan bahwa substansi Pasal 2 ayat (3), jo. Pasal 4 ayat (1) dan (3) UU18/2003 kontraproduktif dengan diktum Putusan MK No. 067/PUU-II/2004, sehingga perlu dicabut karena tidak sesuai dengan asas manfaat dan kegunaan serta bertentangan dengan substansi Pasal 5 huruf (a) sampai dengan (g) UU 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan kontradiksi terhadap UUD 1945.
Sementara itu, majelis hakim memberikan nasihat dalam sidang pemeriksaan permohonan ini. “uji konstitusionalitas seharusnya terfokus. Kalau terkait dengan sumpah hendaknya dijelaskan dengan landasan tepat mana norma yang bertentangan dengan konstitusi yang kedudukannya lebih tinggi. Kalau sumpah advokat di Pengadilan Tinggi tidak konstitusional mengapa seperti itu. Jadi permohonan dan petitumnya harus jelas juga,” kata Hakim Maruarar Siahaan.
Begitu juga dengan Hakim Harjono yang mempertanyakan tentang legal standing Pemohon. “Siapa dan apa kedudukan Pemohon, apakah perorangan atau kelompok. Kalau pasal yang dimohonkan uji materi diterapkan implikasi kerugian material seperti apa yang terjadi terhadap Pemohon. Kemudian MK hanya menguji materi UU terhadap UUD 1945, sedangkan dalam petitum terdapat permintaan pencabutan Putusan MK No. 067/PUU-II/2004,” nasihatnya kepada para Pemohon.
Setelah persidangan usai, Rizki Hendra Yoserizal yang juga merupakan salah satu Pemohon mengungkapkan bahwa yang terjadi dalam dunia advokat kita ini serba aneh. “Kita umpamakan bahwa calon advokat adalah mahasiswa. Apabila mahasiswa telah menempuh kuliah dan sudah ujian skripsi kemudian hanya menunggu yudisium, tiba-tiba tidak diluluskan oleh rektor. Begitu juga dengan calon advokat yang telah menempuh pendidikan, sudah lulus ujian tidak bisa beracara hanya gara pertikaian perkara pengambilan sumpah,” ungkapnya kepada para wartawan.
Perlu diketahui UU 18/2003 tentang Advokat telah diuji materikan kepada MK sebanyak tujuh kali. (RNB Aji/MH)