Jakarta, MKOnline - Sebuah undang-undang (UU) dapat diujikan materinya terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) atau konstitusi. Dalam sejarahnya, judicial review dapat kita telusuri pada pembatalan yang berkaitan dengan pengangkatan hakim (judciary Act 1789) yang kemudian menjadi dasar kewenangan jucial review oleh Supreme Court Amerika Serikat.
Demikianlah yang diutarakan oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati ketika menerima kunjungan dari 51 mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Jakarta di Gedung MK, Senin (13/7). Kunjungan mahasiswa tersebut merupakan rangkaian kuliah praktek lapangan dalam rangka memperdalam materi mata kuliah Ketatanegaraan.
Maria dalam pemaparan kuliah umumnya kepada mahasiswa menambahkan bahwa awal mula pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak terlepas dari gagasan Hans Kelsen. “Agar ketentuan konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat dijamin pelaksanannya, maka diperlukan organ yang dapat menguji apakah suatu produk hukum bertentangan atau tidak dengan konstitusi,” katanya.
Dalam banyak hal, bisa dilihat bahwa seringkali terdapat ketidaksesuaian antara UU dengan Konstitusi yang kedudukannya lebih tinggi. Apabila hal tersebut terjadi bagaimana mengatasinya. Apa yang harus dilakukan sehingga produk hukum bisa berjalan selaras dan beriringan tanpa ada pertentangan di dalam norma dan pelaksanannya.
“Disinilah MK diperlukan sebagai lembaga pengawal konstitusi dan pelindung hak konstitusional setiap warga negara yang salah satu kewenangannya adalah menguji materi Undang-Undang,” tegas Maria kepada para mahasiswa.
Beralih kepada gagasan munculnya constitutional review di Indonesia, Maria menjelaskan bahwa Moh. Yamin dalan BPUPK telah mengusulkan adanya Balai Agung (Mahkamah Agung) perlu diberikan kewenangan untuk membanding UU. Akan tetapi, Soepomo tidak setuju, karena dalam pembentukan dan penyusunan UUD di Indonesia tidak mengenal sistem trias politica dan masih belum banyak sarjana hukum yang memiliki pengalaman tersebut.
Memasuki tahun 1970-an terdapat Ikatan Sarjana Hukum yang menganjurkan dan menyarankan agar Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk menguji UU. Seharusnya UU dapat diuji materikan terhadap UUD.
Pada Tahun 2000 terdapat Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, dimana pada Pasal 5 ayat (1) dijelaskan bahwa MPR berwenang menguji Udang-Undang terhadap UUD 1945, dan Ketetapan MPR. “Meski demikian banyak pertanyaan dan kritik bahwa yang membuat Undang-Undang adalah anggota DPR yang sebagian besar juga anggota MPR. Jadi kredibel-kah hal tersebut apabila Undang-Undang dibuat oleh anggota DPR yang juga anggota MPR dan di uji oleh pembuatnya sendiri,” lanjut Maria.
Setelah Reformasi dan perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945, MK Republik Indonesia dapat terbentuk dengan dasar hukum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK. “Jadi setelah Amandemen terdapat kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dan kekuasaan kehakiman tersebut dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi,” pungkas Maria.
Menanggapi pertanyaan dari mahasiswa yang mepertanyakan dinamika menjadi hakim konstitusi, Maria menjelaskan untuk menjadi hakin MK harus hati-hati dalam memeriksa dan memutus perkara, karena putusan MK final, mengikat dan tidak ada upaya banding terhadapnya. “Argumentasi dan segala teori hukum harus diungkapkan dan digunakan dasar dalam memutus perkara. Jadi, saya sebagai hakim selalu belajar dan belajar terus supaya putusan yang saya berikan untuk setiap permohonan dapat adil,” paparnya sesuai pengalamannya.
Berbeda dengan menjadi seorang pengajar di universitas, Maria menggambarkan kalau sebagai dosen bisa saja menilai salah terhadap ujian para mahasiswa. Ketika terdapat kesalahan bisa diberikan ujian atau tes ulang, akan tetapi kalau putusan MK tidak bisa begitu karena tidak ada pengulangan. “Jadi meski berkaitan dengan ketatanegraan, hakim konstitusi juga harus dituntut lebih untuk memiliki kemampuan selain ilmu hukum saja,” ujar Maria diakhir kuliah khusunya ini. (RNB Aji/MH)