Mahasiswa FH Megou Pak Lampung Kuliah Singkat di MK
Senin, 06 Juli 2009
| 15:07 WIB
Hakim Konstitusi Ahmad Sodiki berfoto bersama para mahasiswa FH Megou Pak usai memberikan ceramah.
Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan pengadilan paling transparan dan cepat di Indonesia. Demikian pernyataan Hakim Konstitusi Achmad Sodiki ketika menerima kunjungan mahasiswa Fakultas Hukum dari Universitas Megou Pak, Lampung, Senin (6/6) di Gedung MK.
Sodiki juga menjelaskan bahwa transparan dan cepatnya peradilan di MK dapat dibuktikan dengan cepatnya Pemohon menerima putusan setelah dibacakan dalam sidang putusan. “Dalam tempo 10 menit setelah dibacakan, Pemohon sudah dapat menerima putusan. Hal ini merupakan public service MK dan guna mengantisipasi terjadi manipulasi putusan. Ini lah yang menunjukkan cepat dan transparannya peradilan di MK,” jelas Sodiki.
Sodiki juga menjelaskan mengenai kewenangan MK, di antaranya menguji UU, memutus pembubaran parpol, mengadili sengketa lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam UUD 1945, menyelesaikan sengketa hasil pemilihan umum, dan memutus perkara impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden. “MK baru saja menyelesaikan 631 kasus mengenai Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) calon legislatif dalam waktu 30 hari,” ujar Sodiki.
Disinggung mengenai perbedaan MK dengan lembaga peradilan lain seperti Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi lainnya, Sodiki menyatakan bahwa banyak hal yang membedakan MK dengan lembaga peradilan lain. Perbedaan itu, di antaranya MK tidak mengenakan biaya perkara bagi para Pemohon. Lainnya, beracara di MK sederhana, cepat, dan transparan.
Menanggapi pertanyaan landasan MK dalam mengambil keputusan, Sodiki menjelaskan bahwa setiap putusan MK selalu berdasarkan UUD 1945 baik dari segi materiil maupun filosofisnya. “Putusan MK berdasarkan UUD 1945. Oleh karena itu, tidak ada kekuasaan lain yang dapat mengubah putusan MK,” jelas Sodiki.
Sodiki juga memaparkan adanya perbedaan pendapat (dissenting opinion) para Hakim Konstitusi dalam memutus suatu perkara. “Perbedaan pendapat dalam mengambil keputusan di MK itu justru harus ada. Hal ini menunjukkan kemandirian MK,” papar Sodiki menutup diskusi. (Lulu A.)