Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres), Jumat (3/6/09) di Gedung MK.
Pemohon adalah Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI). Pasal-pasal yang dibatalkan adalah Pasal 188 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 228, dan Pasal 255 UU Pilpres. MK juga membatalkan sebagian Pasal 188 ayat (5) UU Pilpres sepanjang frase “ayat (2), (3), dan”. MK menilai pasal-pasal itu tidak mengikat secara hukum karena bertentangan dengan UUD 1945.
Bunyi Pasal 188 ayat (2) adalah “hasil survei atau jajak pendapat tidak boleh diumumkan dan/atau disebarluaskan pada masa tenang”. Sementara Pasal 188 ayat (3) berbunyi “hasil penghitungan cepat dapat diumumkan dan/atau disebarluaskan paling cepat pada hari berikutnya dari hari/tanggal pemungutan suara”.
Lalu, Pasal 255 menyebutkan, “'setiap orang atau lembaga yang mengumumkan hasil penghitungan cepat pada hari/tanggal pemungutan suara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah)”.
Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati yang ikut membacakan putusan mengatakan bahwa hasil penghitungan suara adalah suatu metode ilmiah yang bertujuan untuk pendidikan. “Mahkamah tidak sependapat jika quickcount dianggap menyebabkan kekisruhan di tengah-tengah masyarakat. Sebab, sejauh dilakukan dengan prinsip ilmiah, quickcount tidak dapat dilarang. Tapi jika survei mendukung salah satu calon, maka lembaga survei bisa dikenakan Pasal 89 UU a quo,” ujar Maria Farida Indrati saat membacakan sidang putusan.
Hak masyarakat untuk tahu (right to know) merupakan hak asasi manusia. Prinsip proporsionalitas merupakan prinsip dan moral konstitusi. Dikatakan juga bahwa survei memiliki seni tersendiri. “Seni survei terletak pada penyusunan pertanyaan dan pilihan kata dalam pertanyaan tersebut,” tambah Maria.
Dalam konklusinya, MK menilai permohonan pemohon beralasan. Sementara dalam amar putusan yang dibacakan Ketua Majelis Hakim Moh. Mahfud MD, Mahkamah mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian.
Media Boleh Beritakan Capres/Cawapres Saat Masa Tenang
Sementara, pada saat yang sama, Mahkamah Konstitusi juga memutuskan bahwa media cetak dan lembaga penyiaran boleh menyiarkan berita capres-cawapres pada masa tenang sejak dikabulkannya seluruh permohonan tujuh pemimpin redaksi media massa dalam sidang pleno putusan pengujian UU 42/2008 tentang Pemilu Presiden. Pembacaan putusan terbuka untuk umum ini lakukan sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD, sebagai Ketua merangkap Anggota, Abdul Mukthie Fadjar, M. Arsyad Sanusi, Harjono, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, Maruarar Siahaan, M. Akil Mochtar, dan Muhammad Alim masing-masing sebagai Anggota
Ketujuh Pemohon tersebut adalah Karaniya Dharmasaputra (pimred media online www.vivanews.com), Heru Hendratmoko (pimred Kantor Berita Radio 68H), FX Rudi Gunawan (pimred VHR Media), Endi M Bayuni (pimred The Jakarta Post), Sri Malela Mahargasari (pimred Koran Tempo), Ramadhan Pohan (pimred Jurnas), dan Toriq Hadad (pimred Majalah Tempo).
Perkara Nomor 99/PUU-VII/2009 ini menyoal Pasal 47 ayat (5) sepanjang kata ”berita”, Pasal 56 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) serta Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) UU 42/2008 yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal 47 ayat (5) sepanjang kata ”berita” berbunyi ”Media massa cetak dan lembaga penyiaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama masa tenang dilarang menyiarkan berita, iklan, rekam jejak Pasanan Calon, atau bentuk lainnya yang mengarah kepada kepentingan Kampanye yang menguntungkan atau merugikan Pasangan Calon”. Lalu, Pasal 56 ayat (2) berbunyi ”Dalam hal terdapat bukti pelanggaran atas ketentuan dalam Pasal 51, Pasal 52, dan Pasal 53 Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers menjatuhkan sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”. Pasal 56 ayat (3) menyatakan, “Penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan kepada KPU dan KPU Provinsi,”. Sedangkan pasal lain yang dimohonkan terkait dengan sanksi berkenaan larangan tersebut.
MK dalam putusannya berpendapat bahwa menyiarkan berita adalah bagian dari hak asasi setiap orang untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia yang dilindungi oleh konstitusi.
Penyiaran berita mengenai pasangan calon Presiden/Wakil Presiden justru akan membantu memberikan informasi seluas-luasnya kepada calon pemilih mengenai rekam jejak dan kualitas dari pasangan calon Presiden/Wakil Presiden yang semuanya terpulang pada penilaian subjektivitas dari pendengar atau pembaca berita yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas dari pesta demokrasi yang merupakan hak dari rakyat. Dengan kata lain, berita mengenai pasangan calon Presiden/Wakil Presiden adalah hak setiap orang atau warga negara untuk memperoleh dan menyampaikan informasi. Oleh karena itu, dalil-dalil para Pemohon bahwa Pasal 47 ayat (5) sepanjang kata “berita” bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945 adalah cukup beralasan.
Dalam amar putusannya, MK menyatakan Pasal 47 ayat (5) sepanjang kata “berita”, Pasal 56 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), serta Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran 37 Negara Republik Indonesia Nomor 4924) bertentangan dengan UUD 1945, sehingga karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. MK juga memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. (Yazid/MH)