Jakarta, MKOnline - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh. Mahfud MD, menegaskan, tidak ada sengketa internal partai politik (parpol) yang diadili oleh MK. Semuanya adalah sengketa antara parpol yang diwakili oleh DPP masing-masing melawan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Demikian diungkapkan Mahfud di hadapan para jurnalis cetak, eletronik, dan online saat jumpa pers usai menggelar sidang terakhir perkara sengketa hasil pemilihan umum (PHPU) 2009, Rabu (24/6) di gedung MK, Jakarta.
Hal tersebut ditegaskan oleh Mahfud menanggapi pemberitaan yang beredar di sejumlah media mengenai putusan MK atas kesalahan perhitungan KPU terhadap beberapa perkara yang disidangkan MK. Tercatat sejumlah parpol mengadukan salah hitung KPU atas perolehan suara antarcalon anggota legislatifnya pada beberapa daerah pemilihan. Kesalahan tersebut menyebabkan caleg yang merasa dirugikan mengadukan kepada DPP-nya masing-masing dan kemudian diteruskan dengan permohonan kepada MK. Hal inilah yang keliru dipahami oleh media sebagai sengketa antarcaleg dalam satu parpol.
“Yang diperkarakan parpol adalah penetapan suara oleh KPU terhadap caleg-calegnya dan yang berperkara adalah DPP parpol, bukan caleg yang bersangkutan,”ujar Mahfud.
Lebih lanjut Mahfud menjelaskan, MK tidak boleh mengadili sengketa antaracaleg dalam satu parpol, apabila para caleg itu sendiri yang maju ke MK dengan legal standing perorangan. Tetapi, apabila yang menggugat adalah parpol terhadap KPU, hal tersebut bukan merupakan sengketa internal, melainkan sengketa hasil pemilu sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum serta UU No.24 Tahun 2003 tentang MK.
Contempt of court
Dalam kesempatan tersebut, Mahfud MD juga menegaskan bahwa peserta sidang dilarang melakukan interupsi saat hakim membacakan putusan. Pernyataan ini disampaikan Mahfud terkait ‘insiden’ Gusti Randa, yang diminta Majelis Hakim keluar dari ruang sidang karena melakukan interupsi ketika Majelis Hakim sedang membacakan putusan pada sidang putusan Partai Hanura, Rabu (24/6) siang.
Mahfud mengatakan, MK berhak meminta Gusti Randa keluar dari ruang sidang karena telah melakukan contempt of court. “Gusti mengatakan di depan sidang bahwa MK tidak fair, padahal tugas MK itu menegakkan fairness,” ungkap Mahfud beralasan.
Saat itu Gusti Randa yang merupakan salah seorang kuasa hukum Partai Hanura, berkali-kali menginterupsi pembacaan putusan oleh Majelis Hakim meskipun telah diperingatkan dengan keras agar tidak memotong pembacaan putusan. Atas tindakannya tersebut, Gusti Randa diusir oleh Majelis Hakim dengan dikawal oleh petugas keamanan sidang.
Perihal alasan interupsi tersebut yang oleh Gusti Randa dianggap sebagai bentuk protes partainya atas putusan MK yang dinilainya tidak profesional karena terjadi banyak kesalahan, Mahfud membantahnya. Menurut Mahfud, terjadinya beberapa kesalahan dalam putusan MK disebabkan oleh para pemohon sendiri. Ia menjelaskan, lebih dari 50 persen permohonan yang diterima MK disusun secara terburu-buru sehingga mengakibatkan terjadi banyak kesalahan dalam isi permohonan tersebut. Beberapa kesalahan tersebut antara lain tertukarnya daerah pemilihan, penyebutan nama daerah yang keliru, serta alat bukti yang salah tempat.
“Misalnya alat bukti untuk Bandar Lampung diletakkan untuk Lampung, alat bukti dapil kabupaten tertukar dengan alat bukti provinsi. Atau misalnya permohonan untuk Sumsel tapi uraiannya menyebut Sulsel,” ungkapnya. Hal tersebut, menurutnya, diperparah pula oleh lemahnya koordinasi antarkuasa hukum sehingga mereka justru saling tuding dan melempar tanggung jawab.
Mahfud menegaskan pula, apabila MK berpedoman sepenuhnya pada hukum acara, MK dapat saja menyatakan, ‘Permohonan tidak diterima’ karena obscuur atau kabur dan tidak konsisten antar isinya. Namun, tambahnya, karena MK ingin memberi ‘keadilan substantif’, MK memilah-milah sendiri alat-alat bukti dan data tersebut sehingga kesalahan-kesalahan teknis prosedural itu dikesampingkan dan MK tetap memeriksa dan mengadilinya. (Nano Tresna A./ard)