JAKARTA, KORAN JAKARTA - Gugatan Partai Golkar terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang perhitungan dan penetapan calon anggota legislatif tahap ketiga, pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dinilai salah alamat. Dalam UUD 1945 telah ditegaskan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. Lagi pula, putusan MK bukanlah objek sengketa dari PTUN.
"Tidak ada. Mana mungkin ada putusan MK digugat ke PTUN? Hal ini mengindikasikan dua hal, yakni Golkar tidak mengerti konstitusi dan juga tidak menghormati konstitusi yang dapat mencederai negara hukum," ujar pakar hukum tata negara Universitas Hasanuddin Irman Putrasiddin kepada Koran Jakarta, Jumat (19/6).
Dia menjelaskan ketentuan mengenai Peradilan TUN sendiri diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1986. Pasal 1 Ayat (4), kata Irman, menjelaskan bahwa sengketa TUN itu adalah sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara orang atau badan hukum perdata dan badan atau pejabat TUN. Menurutnya, apa yang dihasilkan hakim itu tidak sama dengan putusan pejabat TUN.
Jadi, sambungnya, apa yang diajukan oleh Golkar tersebut tidak dapat dimasukkan ke sengketa TUN. Selain itu, Irman menegaskan, dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 dijelaskan bahwa MK adalah lembaga yang berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. "Tidak dimungkinkan upaya hukum apa pun atas putusan MK," ujarnya.
Sebelumnya, Golkar keberatan atas putusan MK yang mengatakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah salahmenerapkan pola perhitungan kursi tahap ketiga. Pembagian kursi yang dilakukan oleh KPU didasarkan pada peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009. Dalam membagi perolehan kursi tahap ketiga, KPU hanya mengambil sisa suara dari daerah pemilihan yang masih memiliki sisa kursi. Hal ini berbeda dengan putusan MK yang mengharuskan KPU mengikutsertakan seluruh dapil yang masih memiliki sisa suara.
Selain itu, Golkar menganggap MK melebihi kewenangan yang diberikan. Sebab, putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan apabila tidak ada perubahan peraturan KPU yang mengatur hal tersebut. Artinya, harus ada judicial review atas Peraturan KPU Nomor 15 yang dianggap adalah kewenangan dari Mahkamah Agung.
Sementara itu, Koordinator Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Firmansyah Arifin mengatakan PTUN harus menolak gugatan yang diajukan Golkar. Dia menjelaskan hal itu tidak ada dasar hukumnya, dan PTUN sendiri tidak memiliki kompetensi untuk menangani perkara tersebut.
"Gugatan Golkar salah alamat. PTUN tidak memiliki kewenangan untuk mengoreksi putusan MK," ujarnya.Dia mengatakan kendati Golkar mendalilkan MK telah melebihi kewenangannya dalam memutus, gugatan yang diajukan idak akan mengubah apa-apa. Suka atau tidak, kata Firman, putusan MK bersifat final dan tidak ada upaya hukum lagi yang dapat dilakukan. Sebaliknya, bila perubahan itu dimungkinkan, bakal merusak sistem hukum dan menimbulkan ketidakpastian. "Tinggal dipatuhi dan dilaksanakan," tegasnya.
Hakim MK, M Akil Mochtar, mengatakan pengujian putusan MK ke PTUN tidak mungkin dapat diterima. Sebab, kata dia, idak ada satu sistem di seluruh dunia yang memungkinkan pengujian putusan pengadilan terhadap pengadilan lain. Selain itu, putusan MK bersifat final dan mengikat yang harus dijalankan KPU.
"Mereka itu tersesat di jalan yang terang. Jalannya sudah terang benderang, tetapi masih saja sesat," ujarnya. Akil menambahkan, persoalan putusan MK yang memengaruhi eksistensi Peraturan KPU Nomor 15 bukanlah masalah.
Dia menjelaskan yang diputuskan MK itu adalah pada level undang-undang, yakni Pasal 205 UU Pemilu Legislatif. MK, kata Akil, tidak menyatakan peraturan KPU itu salah. Yang diluruskan hanya penerapan Pasal 205 pada pembagian kursi.
"Apabila mereka berpegang pada Pasal 205 secara benar, maka tentunya tidak harus diubah," ujarnya. har/ags/P-1