Jakarta, MKOnline - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Abdul Hafidz Anshary dan anggota KPU, Andi Nurpati, mendatangi Mahkamah Konstitusi (MK) berkaitan dengan putusan MK Nomor 74-94-80-59-67/PHPU.C-VII/2009, Jumat (12/6). Hafidz diterima langsung oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD yang didampingi oleh Wakil Ketua MK Abdul Mukthie Fadjar, Hakim Konstitusi Harjono dan Hakim Konstitusi M. Arsyad Sanusi.
Pertemuan tertutup yang dimulai sekitar pukul 10.30 WIB tersebut membahas tentang Putusan MK terkait gugatan sejumlah partai politik atas penerapan Pasal 205 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota (UU Pemilu) oleh KPU.
Usai pertemuan, kepada wartawan Mahfud menjelaskan bahwa MK tidak pernah mengadili, apalagi membatalkan Peraturan KPU, khususnya Nomor 15 Tahun 2008. Putusan MK, lanjut Mahfud, hanya membatalkan Keputusan KPU Nomor 259/Kpts/KPU/2009 dan Keputusan KPU Nomor 286/Kpts/KPU/2009 sepanjang penghitungan Tahap III.
“Masyarakat, termasuk anggota KPU, pengacara, parpol, bahkan anggota DPR, banyak yang mengacaukan istilah ‘peraturan’ dan ‘keputusan’, padahal keduanya berbeda secara hukum,” jelas Mahfud.
Mahfud menjelaskan bahwa MK paham betul ranah kewenangan yang dimiliki MK. Dalam sengketa hasil Pemilu (PHPU), MK tidak boleh mengadili peraturan di bawah Undang-Undang sebab MK hanya dapat mengadili beschikking (keputusan) yang dikeluarkan KPU.
“MK menulis jelas ranah kewenangan MK tersebut dalam putusan MK kemarin pada paragraf [3.24]. Oleh karena itu, MK langsung menguji penerapan Pasal 205 UU Nomor 10 Tahun 2008, bukan Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2008,” ujar Mahfud.
Menurut Mahfud, putusan MK soal PHPU terdiri atas dua jenis, yakni putusan yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. “Pembagian ini berdasarkan hasil Pemilu yang bisa salah dalam penghitungan atau merekapitulasi suara, tetapi ada juga salah dalam proses penyelenggaraan Pemilu,” jelasnya.
Beberapa contoh putusan MK yang bersifat kualitatif, kata Mahfud, seperti kasus pemungutan suara ulang di Kabupaten Nias Selatan (Sumatera Utara) dan Kabupaten Yahukimo (Papu) serta penerapan Pasal 205 UU Pemilu yang mempengaruhi perhitungan hasil pemilu. Sedangkan putusan yang bersifat kuantitatif adalah terkait kesalahan perhitungan yang dilakukan oleh KPU.
“Kewenangan MK seperti yang tercantum dalam UUD 1945 maupun UU No. 24 Tahun 2003 adalah mengadili sengketa hasil pemilu, bukan hanya mengadili hasil perhitungan suara. Baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif merupakan putusan atas sengketa PHPU. Kalau hanya menghitung hasil suara, maka namanya ‘Mahkamah Kalkulasi’, bukan Mahkamah Konstitusi,” tegas Mahfud.
Berkaitan dengan penerapan Pasal 205 UU Nomor 10 Tahun 2008, MK membatalkan keputusan KPU baik berdasar penafsiran gramatikal dan original intent serta filosofis. Menurut Mahfud, dalam Pasal 205 ayat (5), gramatikalnya sudah jelas menyebut “seluruh sisa suara partai politik dikumpulkan di provinsi”. Secara filosofis, hal itu sudah jelas dimaksudkan untuk menghargai seluruh sisa suara di provinsi. Logikanya jelas, pasal tersebut menjadi tak berlaku jika hanya diartikan untuk dapil-dapil yang ada sisa kursinya, sebab jika di satu provinsi hanya ada satu dapil yang mempunyai sisa kursi tak terbagi dan harus dihitung dalam Tahap III, maka Pasal 205 itu menjadi tak berarti.
“Ditarik ke provinsi atau tidak, jika dapilnya satu akan sama saja. Maka menjadi sangat logis kalau maksud pasal tersebut yang ditarik ke provinsi adalah semua sisa suara di seluruh dapil dalam satu provinsi. Barulah pemberian kursinya diberikan kepada dapil-dapil yang masih mempunyai sisa kursi,” jelas Mahfud.
Mahfud mengatakan bahwa MK dan KPU sudah saling memahami mengenai penjelasan putusan MK ini. “KPU sudah memahami penjelasan MK, begitupula MK sudah memahami kondisi yang dialami KPU. Akan tetapi, perlu diingat ini bukan kesepakatan antardua lembaga negara karena hal itu tidak diperbolehkan,” tegas jelas Mahfud sambil menegaskan bahwa pelaksanaan putusan MK sepenuhnya diserahkan kepada KPU.
Sementara itu, Ketua KPU Abdul Hafidz Anshary menyatakan bahwa kedatangan KPU ke MK hanyalah untuk memohon penjelasan mengenai putusan MK yang menganulir keputusan KPU perihal tata cara perhitungan sisa suara tahap ketiga. Hafidz menjelaskan bahwa KPU sudah memahami bahwa putusan MK tersebut berkaitan dengan tata cara menentukan kursi ketika terjadi penghimpunan sisa suara ke provinsi untuk DPR RI.
Hafidz pun menjelaskan bahwa KPU berpedoman pada Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2008 dalam menetapkan sisa suara ke provinsi tersebut. “MK hanya meluruskan penerapan tata cara penetapan sisa suara tersebut. Maka KPU berkewajiban untuk melaksanakan apapun keputusan MK sesuai yang diamanahkan dalam Undang-Undang,” katanya. (Lulu A/ard)