Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) yang diajukan oleh Partai Nasional Banteng Kerakyatan Indonesia (PNBKI) Rabu (20/5) pukul 08.00 WIB di Ruang Sidang Panel II Lantai 4 Gedung MK. PNBKI sebagai Pemohon perkara ini mempermasalahkan perolehan suaranya di Kabupaten Jembrana, Kabupaten Tulangbawang dapil 2, Provinsi Lampung dapil 2, dan Kabupaten Siak, Riau, dapil 4.
Pokok permohonan untuk Kabupaten Tulangbawang menyatakan bahwa Pemohon keberatan dengan ketetapan KPUD. Sebab, rekapitulasi KPU Provinsi/Kabupaten menyebutkan PNBKI memperoleh 2263 suara tanpa memperoleh kursi DPRD, padahal menurut perhitungan Pemohon seharusnya 2833 dengan satu kursi.
Menurut Pemohon, adanya perbedaan hasil penetapan KPU dengan hasil penghitungan timnya disebabkan beberapa hal. Yakni, munculnya selisih antara rekapitulasi KPU dan bukti salinan rekapitulasi di 72 TPS di 12 desa untuk wilayah Kecamatan Banjaragung. Selain itu, juga ada selisih kesalahan hasil penghitungan suara PNBKI, PDK, PPNUI, PBR, dan PPI. Ini membuat pemohon melakukan protes secara langsung kepada panwaslu dan polres mengenai prosedur yang dilakukan KPU.
Di Prov. Lampung dapil 2, Pemohon juga keberatan dengan KPU yang menetapkan PNBKI memperoleh 14191 suara dan PDK 16201 suara. Menurut Pemohon, seharusnya PNBKI memperoleh 15076 dengan satu kursi dan PDK 14622 tanpa kursi. Perbedaan terjadi karena selisih di 78 TPS pada 16 desa wilayah Kecamatan Wailima Kabupaten Sawaran akibat kesalahan penghitungan suara. Pemohon sudah menyampaikan keberatan tertulis pada PPK Wailima namun tidak direspon.
Di Kab. Siak dapil 4, KPU menetapkan PNBK memperoleh 1200 suara. Menurut Pemohon, mestinya 1298 suara dengan jatah satu kursi. Kesalahan terjadi karena Termohon dianggap keliru menetapkan suara di desa Tualang yang hanya 83 suara. Sementara itu, di Kelurahan Prawang, mestinya PNBK mendapat 1502 suara.
Perwakilan KPU Jembrana yang hadir di persidangan menanggapi Pemohon dengan menguraikan bahwa perselisihan Pemohon tidak menyebutkan selisih hasil penghitungan dari penyelenggara atau KPPS. Selain itu, dalam pandangan KPU Jembrana, pemohon dianggap hanya ingin mendapatkan tambahan suara dengan permintaan pemungutan di Kabupaten Jembrana. Termohon juga melihat bahwa Pemohon lebih mengedepankan persoalan di internal parpolnya semata.
Termohon ingin menegaskan bahwa pada rapat pleno terbuka di tingkat kabupaten, tidak ada parpol yang merasa keberatan dengan hasil rekapitulasi. “Jadi, tidak ada alasan yuridis yang secara substansi dan prosedural menurut UU 10/2008 memungkinkan pemilihan ulang”, tutur Termohon. Tidak hanya itu, Termohon juga mengkhawatirkan jika ada pemungutan ulang, itu akan berdampak pada pilpres. Sebab, penghitungan selalu berakhir sampai malam dan dapat membuat masyarakat nantinya tidak ada yang mau menjadi petugas KPPS. (Yazid/MH).