Makmur Hasugian, calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) daerah pemilihan Provinsi Sumatera Utara nomor urut 34 mengajukan permohonan agar dilakukan pemilihan umum (Pemilu) ulang. Permohonan tersebut disampaikan dihadapan Majelis Hakim MK yang dipimpin oleh Abdul Mukhtie Fadjar, didampingi anggota Maria Farida Indrati dan Muhammad Alim, Selasa (19/5) di ruang sidang panel II MK.
Pemohon mempertanyakan terjadinya proses penghitungan suara ulang di Nias Selatan tanpa prosedur hukum yang jelas. ”Termohon telah menginstruksikan penghitungan ulang yang menyebabkan pemilu ini tidak sah,” kata Makmur.
Makmur juga mengklaim para pendukungnya sengaja tidak diberikan hak memilih walaupun terdaftar yang berakibat kepada perolehan suaranya. “Saya ada buktinya dan pernyataan yang saya lampirkan,” ujar Pemohon bersemangat. Permohonan ini, menurut Makmur merupakan upaya memperjuangkan hak selaku warga negara. ”Saya meminta kepada Termohon mana rekapitulasi dari sekitar 30.000 kotak TPS, karena itu adalah sumber dari sengketa,” katanya mempertanyakan kinerja Termohon (KPU) yang tidak pernah memperlihatkan hasil rekapitulasi suara di Sumatera Utara.
Pemohon sudah melaporkan mengenai kecurangan-kecurangan pemilu yang terjadi kepada KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). ”Namun sampai sekarang belum juga ditindaklanjuti,” kata Pemohon ini kecewa. Untuk itulah Pemohon kemudian mengajukan permohonannya ke MK. Pemohon dalam pokok permohonannya meminta agar Pemilu yang berlangsung 9 April lalu, diulang kembali. Pemohon meragukan apabila dilakukan sekedar perhitungan ulang suara, karena sudah tidak percaya lagi dengan kondisi saat ini.
Kuasa Hukum KPU Didik Sukarno mempertanyakan Mahkamah Konstitusi tidak berwenang menyidangkan perkara ini. Hal itu sesuai ketentuan Pasal Peraturan MK No 16/2009 tentang Pedoman Beracara dalam PHPU anggota DPR, DPD, dan DPRD yang menyatakan obyek PHPU adalah penetapan suara hasil Pemilu yang ditetapkan secara nasional oleh KPU yang mempengaruhi perolehan kursi. ”Kami menyimpulkan permohonan Pemohon bukanlah obyek PHPU, sehingga MK tidak berwenang,” kata Didik menjelaskan. Termohon meminta Majelis Hakim MK menerima eksepsi dari Termohon tersebut.
Atas eksepsi Termohon itu, Pemohon berkeyakinan untuk tetap mempertahankan permohonannya. Demikian juga dengan Termohon, juga tetap mempertahankan eksepsinya. Dengan memperhatikan keyakinan masing-masing pihak yang mempertahankan sikapnya, hakim kemudian menunda sidang dengan pertimbangan akan membawa permasalahan tersebut dalam rapat permusyawaratan hakim. (Feri Amsari/NTA)