Pengujian Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi) memasuki tahap persidangan pleno. Sidang digelar pada Rabu (6/5) dengan agenda mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR, saksi dan ahli dari pemohon, serta pihak terkait.
Demi efektivitas pemeriksaan perkara, majelis hakim menggabungkan tiga permohonan oleh pemohon berbeda. Perkara No. 10/PUU-VII/2009 diajukan “kelompok orang dengan kepentingan yang sama” yang berasal dari Minahasa, Sulawesi Utara. Lalu, Perkara No. 17/PUU-VII/2009 diajukan Tim Advokasi Bhinneka Tunggal Ika sebagai kuasa hukum dari beberapa LSM dan para pekerja seni. Terakhir adalah Tim Advokasi Perempuan untuk Keadilan dengan registrasi nomor 23/PUU-VII/2009.
Pemerintah yang diwakili oleh Deputi Meneg Pemberdayaan Perempuan, Setyawati, menegaskan bahwa pornografi sangat merusak anak-anak karena sangat mudah diakses melalui internet. Selain itu, menurut Setyawati pornografi juga bertentangan dengan nilai teologis, psikologis, dan sosial yang berimplikasi munculnya sikap antisosial pada anak. Ia juga menambahkan bahwa kecanduan pornografi dapat merusak otak dan menjadikan otak tengah menjadi kecil.
Selain itu, menurut Setyawati, “UU Pornografi tidak ditujukan untuk mendiskriminasi perempuan, justru menjunjung tinggi perempuan dari tindakan seperti pelecehan seksual, pencabulan, dan memberikan kepastian hukum bagi anak-anak dan perempuan dari masalah pornografi.”
Sementara Patrialis Akbar yang menyampaikan keterangan DPR, menolak dalil pemohon yang mengatakan tindakan laki-laki berhubungan dengan perempuan lebih dari satu menunjukkan keperkasaan dan kejantanan sebagai bentuk diperbolehkannya poligami. Patrialis juga menolak dalil pemohon yang menyatakan perempuan yang berhubungan dengan laki-laki lebih dari satu merupakan tindakan tidak baik sehingga kekerasan terhadap perempuan adalah wajar.
“Saya tidak habis pikir, dalil itu digunakan untuk melindungi bangsa ini. Dalam konstitusi kita, boleh hak asasi dibatasi dengan maksud menjamin pengakuan hak asasi orang lain,” ujarnya.
Sedangkan Masnah Sari yang mewakili Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai pihak terkait berpendapat bahwa bagaimanapun juga, yang paling penting adalah bagaimana meletakkan anak-anak Indonesia pada “zona aman” dari eksploitasi ekonomi dan seksual.
Pendapat berbeda disampaikan oleh JE Sahetapy. Ahli hukum pidana yang diajukan oleh para Pemohon ini berpendapat jika pornografi harus diatur mestinya bukan melalui undang-undang tersendiri, namun lebih tepat diatur melalui UU Penyiaran.
Agnes Widianti, ahli pemohon lain berpendapat bahwa UU Pornografi telah menegasikan hukum yang berkeadilan jender. “Dalam kenyataan umum, rumusan hukum kita masih bersifat palosentrik (laki-laki mendominasi),” jelasnya.
Sementara Sulistyowati Irianto, ahli pemohon lainnya, ikut menguatkan ahli sebelumnya. Meskipun sepakat bahwa persoalan utama pornografi adalah objektivikasi dan eksploitasi tubuh perempuan, namun ia menilai justru perempuanlah yang menjadi korban sebenarnya atas pemberlakuan UU Pornografi. Ia melihat UU Pornografi masih mengadopsi pengertian pornografi secara umum. “Apakah sumber kemaksiatan semata-mata dipicu cara berpakaian lelaki atau perempuan?” tanyanya retoris.
Kamala Chandra Kirana dari Komnas Perempuan yang juga hadir sebagai pihak terkait, dalam keterangannya menyampaikan bahwa UU Pornografi perlu didudukletakkan sebagai produk hukum, bukan masalah sosial. Ia berpendapat bahwa UU Pornografi sungguh-sungguh membelah Indonesia. “Karena itu, saya memohon majelis hakim mengabulkan permohonan pemohon, menyatakan UU Pornografi bertentangan dengan UUD 1945 sekaligus tidak punya kekuatan hukum mengikat,” pintanya. (Yazid/ard).