Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Uji materi UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Selasa (5/5) di ruang sidang MK. Dalam konklusinya, Mahkamah menilai bahwa UU ITE tetap konstitusional dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum.
Permohonan Uji Materi Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik,” dimohonkan oleh Iwan Piliang sebagai Pemohon Perkara No. 50/PUU-VII/2008 dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM (PBHI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan LBH Pers selaku Pemohon Perkara No. 2/PUU-II/2009.
Para Pemohon Mendalilkan bahwa Pasal a quo merupakan Pasal yang multi tafsir. Oleh karena itu menurut Pemohon, dalam penrapannya dapat menimbulkan ketidak pastian di dalam hukum, terkait penyebaran informasi yang merupakan pendapat atau kritik.
Setelah mendengar keterangan Ahli dan Saksi dari para Pemohon dan Termohon pada sidang sebelumnya (18/3), MK memberi pertimbangan terhadap Pasal 27 ayat (3) UU ITE sangat diperlukan keberadaannya. “Globalisai yang bergulir pada tahun 1980-an, bukan saja terkait dengan kehidupan Ekonomi, tetapi telah melanda kehidupan politik, pertahanan keamanan, sosial budaya, hukum bahkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pertumbuhan dunia siber (cyberspace),” kata Hakim Ahmad Sodiki.
Melanjutkan pembacaan putusannya, menurut Ahmad Sodiki, Globalisasi di bidang politik tidak terlepas dari pergerakan hak asasi manusia (HAM), transparasi dan demokratisasi. “HAM diakui secara internasional telah diratifikasi oleh hukum positif di Indonesia yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Nilai tersebut terkait martabat dan harkat kemanusiaan tidak boleh tercederai dengan tindakan-tindakan yang mengusik nilai kemanusiaan melalui penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.,” lanjutnya.
Dalil Pemohon yang diajukan mengenai bahwa pasal 27 ayat (3) memperlihatkan adanya ketidakjelasan ukuran dan makna yang tumpang tindih dan tidak sesuai dengan semangat demokrasi, Mahkamah berpendapat dan mempertanyakan apakah hakekat dari dunia maya dan adakah perbedaan prinsipil antara dunia maya dengan dunia nyata. Bukankah dunia maya juga termasuk bagian dari alam nyata atau empirik?
“Dunia siber adalah sebuah konstruksi maya yang diciptakan oleh komputer yang didalamnya berisi data-data abstrak yang berfungsi sebagai wadah bertukar gagasan, penguat prinsip demokrasi termasuk memiliki realitas fisik. Penyebaran yang mudah, meluas dan corak viktimasi yang tidak terbatas, maka diperlukannya aturan untuk mengakomodasi perkembangan teknologi informasi guna tindak kejahatan,” ujar Hakim Maria Farida.
Selain itu, Kemerdekaan serta kebebasan berjalan seiring berkembangnya dunia teknologi dan informasi harus dimiliki oleh semua rakyat dengan tiga unsur yakni demokrasi, keadilan dan supremasi hukum.
“Jadi, keberlakuan dan tafsir Pasal 27 ayat (3) tidak dapat dipisahkan dengan norma hukum sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut, harus juga diperlakukan terhadap perbuatan yang dilarang dalam Pasal a quo UU ITE serta dapat dituntut di depan Pengadilan,” tegas Hakim Mahfud MD. (RNBAji)
Foto: Dok. Humas MK/Kencana SH