Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan untuk seluruhnya terhadap uji materi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Selasa (5/5), di ruang sidang MK. Pemilukada dua putaran konstitusional.
Permohonan ini diajukan oleh Y. Noto Sugiatmo yang menganggap hak konstitusionalnya dirugikan karena diberlakukannya Pasal 107 ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), (7) UU a quo mengenai Pemilukada dua putaran. Pemohon juga mendalilkan bahwa dirinya sebagai pemilih tidak mendapat kesempatan untuk dididik lebih baik sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi, yakni memilih cukup satu kali saja.
Ketentuan-ketentuan tentang pengaturan Pemilukada menurut Pemohon seharusnya dilakukan hanya satu kali putaran saja. “Hal ini akan lebih menghemat biaya dan menjaga keseimbangan, kemajuan, kesatuan ekonomi nasional, efisen, dan berkeadilan,” menurut Noto Sugiatmo.
Dalam pertimbangannya mengenai norma konstitusi yang didalilkan Pemohon untuk menguji konstitusionalitas Pasal a quo, MK menyatakan bahwa UUD 1945 menjamin hak setiap orang untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya dan berhak memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi. “Pemerintah juga berkewajiban untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan warga negara dan umat manusia,” kata Hakim Maruarar Siahaan.
Namun, lanjut Mahkamah, Bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon termasuk “cara Noto” dalam pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah yang oleh Pemohon sendiri disebut sebagai metode matematik sederhana, belum teruji secara akademis dan belum terbukti di lapangan, melalui proses pengujian yang selayaknya oleh badan yang berwenang untuk itu.
Metode pemilihan dengan ”cara Noto” sebagaimana diuraikan dalam permohonan dan didukung oleh alat-alat bukti yang diajukan Pemohon, menurut Mahkamah, adalah kabur (obscuur), karena di samping uraian metode pemilihan ”cara Noto” belum jelas. “Maka masalah yang diajukan tersebut juga belum dapat digunakan sebagai alternatif dalam pilihan kebijakan yang diambil sehingga juga belum dapat dipergunakan sebagai ukuran dalam menilai masalah konstitusionalitas norma Pasal 107 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) UU 12/2008,” terang Hakim M. Arsyad.
Amar Putusan MK yang dibacakan oleh Hakim Mahfud MD menyatakan Pasal yang dimohonkan tidak bertentangan dengan UUD 1945. “Dengan demikian menyatakan bahwa Permohonan Pemohon ditolak untuk seluruhnya,” tegasnya. (RNB Aji)
Foto: Dok. Humas MK/Ardli Nuryadi