Sekitar 38 mahasiswa dari Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (23/4). Rombongan sempat menyaksikan jalannya sidang Pengujian UU Kepailitan di ruang sidang gedung MK.
Mereka diterima Hakim Konstitusi Dr. Muhammad Alim, S.H., M.Hum yang membawakan materi mengenai “Konstitusi dan Negara dalam Islam”. Beliau menjelaskan panjang lebar mengenai makna konstitusi, keperluan adanya konstitusi, dan beberapa definisinya.
Muhammad Alim meriwayatkan AV Dicey, Ahli Hukum dari Inggris yang terkenal karena pemikirannya tentang tiga unsur utama dari pemerintahan yang kekuasaannya diatur berdasarkan Rule of Law, antara lain, the absolute supremacy or predominance of law (kekuasaan tertinggi dalam negara adalah hukum atau kedaulatan hukum), equality before the law (persamaan kedudukan di muka hukum), dan constitution based on individual rights (konstitusi didasarkan pada hak-hak individu).
Selanjutnya, Alim juga menguraikan hubungan konstitusi negara dalam perspektif Islam. Dalam Islam, Al quran adalah hukum tertinggi sekaligus konstitusi itu sendiri. Dicontohkan, pernah ada hadits yang tidak memperbolehkan meminum madu. Maka, hadits yang dianalogikan sebagai undang-undang, kemudian diujikan dengan konstitusi, yakni Al quran. Ternyata ayat Al quran malah menyebutkan madu adalah obat yang menyembuhkan bagi manusia. Karena itu, hadits tersebut inkonstitusional karena konteksnya saat itu Rasulullah hanya bermaksud menyenangkan hati istri-istrinya. “Ini menunjukkan, dalam Islam pun telah ada proses pengujian undang-undang sejak lampau,” kisah Alim.
Karena itu, Muhammad Alim dalam presentasinya berkali-kali menekankan bahwa Islam adalah ilmu hukum yang paling baik di dunia. “Ilmu hukum Islam adalah yang paling sempurna sampai sekarang,” tuturnya.
Pada sesi tanya-jawab, Usman, salah satu mahasiswa, menanyakan kelayakan hukum Islam jika diterapkan di Indonesia. Muhammad Alim menjelaskan bahwa Indonesia bukanlah negara agama, namun negara Pancasila.
Sementara itu, Salman Al Farisi, mahasiswa lain, sempat menggambarkan proporsi pembuat undang-undang, para anggota DPR, yang berjumlah 500-an dengan Hakim MK yang hanya sembilan orang. “Apakah proporsional sembilan orang dapat dengan sangat mudah membatalkan undang-undang yang dirumuskan sekitar 500 lebih anggota DPR? Bagaimana jika sebelum disahkan menjadi undang-undang, MK ikut terlibat pula di dalamnya?” tanya Salman.
Muhammad Alim menjawab, bahwa merumuskan undang-undang bukanlah kewenangan MK, namun kewenangan DPR. “MK malah salah jika ikut membentuk undang-undang,” ujarnya.
Alim pun menuturkan bahwa proses pembentukan undang-undang tidak bisa dilepaskan dari politik dan kepentingan fraksi masing-masing. karenanya, undang-undang yang dibuat berpotensi melanggar konstitusi. “Di sinilah peran MK harus dikedepankan (untuk menegakkan konstitusi),” pungkasnya sebelum menutup diskusi. (Yazid)
Foto: Dok. Humas MK/Andhini SF