Mahkamah Konstitusi (MK) kembali uji UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan), Kamis (23/4), di ruang sidang Panel MK dengan agenda Pemeriksaan Perbaikan Permohonan.
Pemohon perkara No. 19/PUU-VII/2009 ini, Tafrizal Hasan Gewang dan Royandi Haikal yang sama-sama kurator, mengatakan bahwa hak konstitusionalnya dirugikan dengan pembatasan penanganan perkara oleh kurator yakni hanya maksimal menangani tiga perkara saja. UU a quo, bagi Pemohon dipandang sangat mengikat. Perlakuan tidak sama antara kurator dan profesi-profesi lain dinilai merugikan hak asasi dan hak atas pekerjaan.
Penerapan Pasal 15 ayat (3) UU a quo, menurut Pemohon, bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2).
Petitum Pemohon meminta Majelis Hakim Konstitusi menerima dan mengabulkan permohonan untuk seluruhnya serta menyatakan isi Pasal 15 ayat (3) UU 37/2004 yang berbunyi “kurator yang diangkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus independen, tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Debitor atau Kreditor, dan tidak sedang menangani perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang lebih dari 3 (tiga) perkara” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
“Di Singapura dan negara-negara lain, pembatasan dalam kepailitan sama sekali tidak dikenal,” ujar Tafrizal pada Majelis Hakim yang diketuai Maruarar Siahaan.
Dalam persidangan tersebut, Majelis Hakim mengesahkan alat bukti tertulis berupa pendaftaran kurator, permohonan pernyataan pailit, dan alat bukti lainnya. (Yazid)
Foto: Dok. Humas MK/Wiwik BW