Jika membaca putusan Mahkamah Konstitusi (MK), jangan hanya membaca amar putusanya saja, tetapi, lihatlah pertimbangan hukum yang diambil Hakim Konstitusi dalam mengambil keputusan. Di situ akan terlihat kemandirian MK sebagai sebuah lembaga peradilan.
Hal itu disampaikan Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati di hadapan para mahasiswa dan dosen yang tergabung dalam P3KHAM LPPM Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), Surakarta, Senin (20/4), di Gedung MK.
Dalam kesempatan itu, Maria menjelaskan latar belakang berdirinya MK. Pada awalnya, jelas Maria, wacana dibentuknya MK bermula dari kasus Marbury vs. Madison pada tahun 1803. Di Indonesia, muncul wacana perlu dibentuknya sebuah lembaga penguji undang-undang ketika Muhammad Yamin mengusulkan Balai Agung (kini Mahkamah Agung) untuk membanding undang-undang. Namun wacana ini ditolak oleh Soepomo yang beralasan bahwa Indonesia saat itu adalah negara yang baru tumbuh sehingga belum memiliki sumber daya yang mencukupi, karenanya belum membutuhkan adanya kewenangan itu.
Di perjalanan sejarah negara ini, ide pembentukan MK kemudian diadopsi ke dalam perubahan konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada perubahan ketiga tahun 2001 seperti yang dirumuskan dalam ketentuan Pasal 7B, Pasal 24 ayat (2), dan Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945, yang disahkan pada 9 Nopember 2001.
Maria juga menjelaskan mengenai kewenangan MK seperti yang tercantum dalam Pasal 24C UUD 1945, yakni menguji undang-undang terhadap UUD, memutus pembubaran parpol, mengadili sengketa lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam UUD 1945, menyelesaikan sengketa hasil pemilihan umum, dan memutus perkara impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden.
“Untuk sengketa Perkara Hasil Pemilu (PHPU) telah MK lakukan, namun untuk pembubaran Parpol, sampai saat ini MK belum dimohon untuk membubarkan sebuah parpol,” jelas Maria.
Maria juga menyinggung mengenai syarat penting menjadi seorang Hakim Konstitusi. Syarat utama, menurut Maria, adalah memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. Hal ini, lanjut Maria, bisa dinilai oleh masyarakat. Kemudian syarat lain adalah adil, yang bisa dilihat dari putusan Hakim Konstitusi. “Syarat yang berbeda adalah harus seorang negarawan. Syarat ini hanya diperuntukkan bagi Hakim Konstitusi,” papar Maria.
Menurut Maria, menjadi seorang Hakim Konstitusi sangat sulit. Seorang hakim Konstitusi harus berhati-hati dalam menyampaikan pendapat. Makanya, papar Maria, sesungguhnya dia lebih senang mengajar dan menjadi dosen karena tugasnya tidak seberat Hakim Konstitusi supaya bebas berteori. “Akan tetapi, ternyata menjadi Hakim Konstitusi juga tidak membatasi saya dalam berteori karena seorang Hakim Konstitusi dipersilakan berbeda pendapat (dissenting opinion). Inilah salah satu bentuk kemandirian MK,” jelas Maria.
Pada pertemuan ini, Maria juga berharap suatu saat nanti akan ada adik-adik mahasiswa perempuan dari UNS yang bisa menggantikannya sebagai Hakim Konstitusi perempuan. (Lulu A.)
Foto: Dok. Humas MK/Andhini SF