Sekali lagi, pengujian Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi) kembali diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (16/4). Pemohon adalah Yayasan LBH APIK Jakarta, Perserikatan Solidaritas Perempuan, Yayasan Sukmat-Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan HAM (LRC-KJHAM), Kelompok Perempuan Pro Demokrasi (KPPD) Surabaya, Lembaga Semarak Cerlang Nusa Consultancy Research and Education for Transformation, LBH APIK Semarang, Acep Supriadi, dan Perkumpulan Institut Perempuan.
Para pemohon diwakili kuasa hukum yang tergabung dalam Tim Advokasi Perempuan untuk Keadilan. Mereka memohonkan pengujian Pasal 1 angka 1, Pasal 4, Pasal 10, Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 23 UU a quo.
Pemohon perkara No. 23/PUU-VII/2009 tersebut mendalilkan Pasal 1 angka 1 UU Pornografi bertentangan dengan Pasal 28I ayat (4) dan (5) UUD 1945 karena “sifat melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat” yang hanya ditemukan dalam KUHP bergantung dari pendapat umum pada waktu dan tempat tertentu. Sebaliknya, UU Pornografi tidak memberikan penjelasan batasan norma kesusilaan dalam masyarakat.
Para pemohon juga mendalilkan Pasal 4 UU a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28I ayat (2) dan ayat (4), Pasal 28I ayat (3) serta Pasal 28G UUD 1945. Menurut pemohon, pokok bahasan di Pasal 4 ayat (1) huruf d dan ayat (2) UU Pornografi mengenai aturan yang berkaitan dengan tubuh, menjadikan perempuan sebagai objek hukum paling nyata dalam penerapan pasal ini.
Selanjutnya, Pasal 10 UU Pornografi, oleh Pemohon juga dianggap bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, sebab rumusan Pasal 10 ini tidak menjelaskan secara detail apa yang dimaksud “mempertontonkan diri atau orang lain”. Selain itu, frasa “pertunjukan di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya” juga sangat subjektif dan dapat menimbulkan bermacam-macam interpretasi.
Lalu, Pasal 20 dan Pasal 21 UU Pornografi pun dianggap bertentangan dengan Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945. Alasan pemohon, ini menunjukkan pemerintah dan DPR telah menyerahkan penafsiran makna pornografi sekaligus memberi hak menangani masalah ini ke masyarakat berdasarkan pemahaman mereka.
Terakhir, pemohon mendalilkan Pasal 23 UU Pornografi bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 karena secara substansi tidak ada satu pasal pun yang mengatur tentang hukum acaranya. Praktis, penggunaan UU Pornografi hanya menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dalam petitumnya, pemohon meminta MK mengabulkan seluruh permohonan sekaligus menyatakan ketentuan dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4, Pasal 10, Pasal 20 dan Pasal 23 UU Pornografi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Ketua Panel Hakim Maria Farida Indrati mengatakan bahwa ada perbedaan antara posita dan petitum, karena itu ia meminta permohonan diperbaiki kembali. Sementara Hakim Anggota Panel Akil Mochtar meminta Pemohon menjelaskan permohonan secara lebih terperinci. “Buatlah ilustrasi dari masing-masing pasal yang bertentangan dengan UUD 1945,” tuturnya.
Di samping itu, ia mempertanyakan uraian Pemohon dalam permohonannya. “Semua undang-undang mengacu pada hukum acara yang umum. Apa yang anda permasalahkan dengan KUHAP?” tanya Akil.
Sementara itu, Hakim Anggota Panel Abdul Mukthie Fadjar juga ikut menasehati agar pokok-pokok permohonan lebih menekankan pada aspek-aspek argumentatif sesuai dengan kerugian konstitusional yang dirasakan.
Pemohon menyatakan bisa menerima saran Majelis Hakim dan akan memperbaiki permohonannya. (Yazid)
Foto: Dok. Humas MK/Wiwik BW