Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Perda), Kamis (16/4), di ruang sidang MK dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan. Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 22/PUU-VII/2009 ini dimohonkan oleh Bupati Jembrana I Gede Winasa, Provinsi Bali, dengan kuasa hukum A. Muhammad Asrun.
Pemohon mengajukan pengujian terhadap Pasal 58 huruf o serta penjelasan Pasal 58 huruf o yang dianggap bertentangan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Asrun menjelaskan bahwa Penjelasan Pasal 58 huruf o menimbulkan multitafsir karena pengangkatan dan penetapan sebagai Kepala Daerah dapat terjadi melalui beberapa mekanisme.
Mekanisme tersebut di antaranya Wakil Kepala Daerah bisa naik menjadi Kepala Daerah menggantikan Kepala Daerah yang berhalangan tetap. Tak hanya itu, menurut Pemohon, seseorang juga dapat diangkat sebagai Penjabat Kepala Daerah karena kekosongan jabatan tersebut. Pemohon mempertanyakan apakah masa jabatan tersebut juga harus dihitung sebagai masa jabatan Kepala Daerah yang pertama.
Namun adapula mekanisme di mana seseorang bisa diangkat menjadi Kepala Daerah melalui mekanisme pemilihan tidak langsung di DPRD sehingga masa jabatan sebagai Kepala Daerah tersebut harus dihitung sebagai masa jabatan yang pertama. Hal ini, lanjut Asrun, justru berbeda dengan pengangkatan seseorang sebagai Kepala Daerah melalui mekanisme pemilihan umum langsung yang menjadi rezim pemilihan umum seperti yang diatur dalam UU Pemda.
Sedangkan, Pasal 58 huruf o yang berbunyi, “belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama”, dinilai dapat menimbulkan kerugian konstitusional terutama bagi Pemohon yang berencana maju kembali dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Kabupaten Jembrana Tahun 2010.
Pemohon, papar Asrun, merasa berhak maju kembali dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah terkait penilaian prestasi kerja dan kepemimpinan Pemohon dalam menjalankan roda pemerintahan di Jembrana yang sering dijadikan acuan untuk kepentingan studi banding penyelenggaraan pemerintahan oleh Pemerintahan Daerah Tingkat II lainnya di Indonesia.
Terhadap permohonan itu, Ketua Majelis Hakim Maruarar Siahaan menyarankan agar Pemohon memerhatikan argumen yang diajukannya. “Belum jelas argumen Pemohon untuk menyatakan Pasal 58 ini apakah inkonstitusional atau konstitusional. Argumen konstiusionalnya pun belum memadai. Jika argumen ini tidak dikuatkan, maka kita hanya akan menafsirkan Pasal 58 huruf o itu saja,” jelas Maruarar.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Harjono mengungkapkan bahwa Pemohon hanya meminta pengujian Pasal 58 huruf o sebatas pada penafsiran saja. “Seperti yang Anda (Pemohon, red.) ketahui, judicial review dalam kewenangan MK adalah menguji keabsahan undang-undang terhadap UUD 1945. Sedangkan Anda hanya mempermasalahkan penafsiran Pasal 58 huruf O. Anda tidak menjelaskan butir UUD 1945 yang digunakan sebagai alat uji. Kalau memang Anda hanya ingin menafsirkan, maka MK tidak berwenang melakukan hal itu,” tegas Harjono.
Majelis hakim memberikan waktu empat belas hari kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. (Lulu A.)
Foto: Dok. Humas MK/Wiwik BW