UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisidiknas) dan UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) kembali diajukan untuk diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (16/4), di ruang sidang MK.
Sidang perkara Nomor 21/PUU-VII/2009 ini mengagendakan Pemeriksaan Pendahuluan. Perkara ini dimohonkan oleh sembilan Pemohon yang terdiri dari elemen mahasiswa, orangtua siswa, dan beberapa badan hukum yang bergerak dalam bidang pendidikan dengan kuasa hukum dari Tim Advokasi Koalisi Pendidikan.
Pasal yang dimohonkan untuk diuji adalah Pasal 53 ayat (1) dalam UU Sisdiknas yang berbunyi, “Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan”. Sedangkan untuk UU BHP, keseluruhan pasal dalam UU BHP dimohonkan untuk diuji. Para Pemohon menganggap Pasal 53 ayat (1) dalam UU Sisdiknas dan UU BHP bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pembukaan UUD 1945 alinea keempat, Pasa 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (2) serta Pasal 31 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5).
Taufik mengungkapkan bahwa Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas memberikan landasan hukum bagi keberadaan UU BHP. Dalam Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas, lanjut Taufik, mengamanatkan agar seluruh penyelenggaraan pendidikan harus didasarkan pada sistem BHP. Sistem BHP yang dimaksud dalam UU Sisdiknas adalah sistem BHP menurut UU BHP.
Padahal dalam kenyataannya, UU BHP memperlakukan pendidikan layaknya komoditas pasar, yakni syarat penyelenggaraan pendidikan untuk maju dan berkembang adalah kemampuan meraup dan menghimpun dana sebesar-besarnya. Dengan begitu, semakin sebuah sekolah atau penyelenggara pendidikan mampu mendapatkan dana, maka semakin besar pula kesempatannya untuk maju dan berkembang.
Namun sebaliknya, semakin kurang usaha sebuah sekolah mendapat dana, maka semakin jauh kesempatan untuk maju dan berkembang. “Hal ini menunjukkan pemerintah perlahan-lahan mulai mundur dari tanggung jawab untuk membiayai pendidikan rakyat,” paparnya.
Mengenai keseluruhan UU BHP yang diujikan, Taufik menjelaskan bahwa yang dipersoalkan bukan pasal dalam UU BHP, tetapi pilihan kebijakan politik pemerintah yang menempatkan UU BHP sebagai satu-satunya landasan penyelenggaraan sistem pendidikan nasional.
Padahal, lanjut Taufik, ini jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945 yang mengamanatkan agar negara melaksanakan tugasnya mencerdaskan kehidupan bangsa. “Hal ini berarti negara wajib menjamin akses seluruh rakyat terhadap pendidikan tanpa terkecuali dan menjadikan negara sebagai aktor utama dalam penyelenggaraan pendidikan agar pendidikan dapat dijangkau dan terjangkau seluruh rakyat,” tegas Taufik.
Menanggapi permohonan mengujikan seluruh pasal dalam UU BHP, Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi menyarankan agar Pemohon merenungkan sebaik-baiknya, apakah UU BHP ini harus dihapus. “Ini yang harus dipertajam bahwa memang ada hak konstitusional Pemohon yang terlanggar akibat UU BHP ini. Anda (Pemohon, red.) harus menjelaskan alasannya kenapa UU BHP harus dibumihanguskan,” kata Arsyad.
Sementara itu Ketua Majelis Hakim Muhammad Alim menyarankan agar walaupun Pembukaan UUD 1945 dijadikan dasar filosofis pengajuan perkara ini, Pemohon harus juga menyertakan dasar normatif. “Pemohon jangan sampai lupa mencantumkan Pasal 31 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) sebagai dasar normatif sehingga negara tahu bagaimana merespon dalam pelaksanaannya,” ujar Alim.
Majelis Hakim juga mensahkan 14 bukti tertulis yang dilampirkan Pemohon dalam permohonannya. Pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. (Lulu A.)
Foto: Dok. Humas MK/Kencana SH