Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pengujian UU Nomor 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, UU Nomor 2/2008 tentang Partai Politik, dan UU Nomor 10/2008 tentang Pemilu pada Selasa (14/4) di Ruang Sidang Pleno, MK dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan.
Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 24/PUU-VII/2009 dimohonkan oleh Administrator Partai Independen Revolusi-45 Zulfikar, Ketua Umum Partai Republiku Indonesia Ramses David Simanjuntak, Sekjen Partai Kristen Indonesia Arnold L. Wuon, dan Koordinatir Partai Wilayah Jawa Barat dari Partai Uni Demokrasi Indonesia Saiful Huda.
Para Pemohon meminta kepada MK membatalkan Pasal 12, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 43, Pasal 50, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 105, Pasal 106, Pasal 107, dan Pasal 122 pada Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Kemudian Pasal 2 ayat (1), ayat (2) dan ayat (5), Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) huruf d, Pasal 4 ayat (1), (3) dan (4), Pasal 5 ayat (1), Pasal 6, Pasal 7, Pasal 12 huruf e, Pasal 13 huruf i, Pasal 23 ayat (2) dan (3), Pasal 34 ayat (3) dan (4), Pasal 40 ayat (5), Pasal 43 ayat (3) Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48 ayat (7), dan Pasal 50. Dan juga ayat-ayat dan huruf-huruf pada Pasal 14 sampai dengan Pasal 34 ayat 2 Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Serta Pasal 4 ayat (3), Pasal 8 ayat (1) huruf a sampai dengan f, Pasal 14 ayat (2), Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 serta Pasal-pasal dari Pasal 172 sampai dengan Pasal 201 Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum.
Menurut kuasa hukum Pemohon, Mirza Z., S.H., M.H., dkk, pasal-pasal yang diajukan bertentangan dengan UUD 1945. Pasal-pasal itu dinilai telah mengkhianati kedaulatan rakyat karena terlalu banyak campur tangan pemerintah. Pasal-pasal a quo dianggap diskriminatif karena menentukan syarat-syarat yang memperberat parpol Pemohon dalam mengikuti Pemilu 2009. “Pasal-pasal tersebut membatasi hak konstitusional kami sebagai Pemohon karena kami jadi tidak bisa,” tegas Mirza.
Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi meminta agar Pemohon memperbaiki permohonan dengan melihat kewenangan MK dalam permohonannya. Menurut Arsyad, Pemohon dalam petitumnya meminta terlalu berlebihan kepada MK. Misalnya saja dalam petitum Pemohon pada butir (4) yang meminta MK untuk menyusun undang-undang baru sebagai pengganti. “Saudara Pemohon harus ingat, menyusun undang-undang bukan kewenangan MK. Jadi, anda (pemohon, red.) harus mencermati dalam petitum anda mengenai kewenangan MK,” tegas Arsyad.
Selain itu, Hakim Konstitusi Achmad Sodiki juga mempertanyakan mengenai petitum butir (9) yang menyatakan bahwa partai-partai politik pemohon, yaitu partai-partai yang tergabung dalam partai politik independen yang berada di luar sistem pemilu. “Kalau parpol anda di luar sistem pemilu, lantas parpol anda disahkan oleh siapa?” ujarnya.
Sementara itu Hakim Konstitusi Harjono selaku Ketua Majelis Hakim dalam persidangan ini, meminta agar Pemohon memfokuskan pasal-pasal yang akan diajukan, karena terlalu banyak yang diajukan. Jika ketiga UU ini dijumlahkan ada hampir 100 pasal ditambah dengan ayat pada masing-masing pasal. “Kalau permohonan anda dikabulkan, maka di Indonesia ini tidak akan ada Pemilu. Jadi, bagaimana anda mengharapkan suara yang golput bisa masuk menjadi suara untuk partai anda? Dengan dibatalkannya UU yang anda ajukan, KPU bisa dibubarkan,” jelas Harjono.
Untuk itu, Pemohon diminta memperbaiki permohonannya dalam jangka waktu 14 hari. (Lulu A.)
Foto: Dok. Humas MK/Andhini SF