Mahkamah Konstitusi (MK) dibutuhkan sebagai lembaga pengoreksi undang-undang (UU) yang dibuat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), karena setiap UU mungkin saja memiliki kesalahan.
Demikian pernyataan yang disampaikan Hakim Konstitusi Achmad Sodiki ketika menemui siswa SMA Darul Ma’arif, Cipete, Jakarta Selatan, Jumat (3/4), di gedung MK.
Selain itu, menurut Sodiki, MK juga memiliki kewenangan di antaranya memutus pembubaran partai politik, mengadili sengketa lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam UUD 1945, menyelesaikan sengketa hasil pemilihan umum, dan memutus perkara impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden.
“MK tidak melihat suku, agama, ras, dan golongan dalam memutuskan perkara. Bahkan jika menurut DPR, Presiden bersalah, maka MK berhak mengadilinya,” paparnya.
Menanggapi pertanyaan mengenai kedudukan MK dan Mahkamah Agung (MA), Sodiki menjelaskan keduanya memiliki kewenangan yang berbeda. Dari segi putusan, antara MA dan MK memiliki perbedaan. Keputusan MK bersifat final dan mengikat. “Bersifat final itu maksudnya tidak bisa naik banding atau kasasi. Kemudian mengikat tidak hanya bagi para pemohon perkara, tapi juga bagi seluruh rakyat Indonesia. Kalau MA sifat keputusannya hanya untuk para pemohonnya saja,” paparnya.
Menyinggung mengenai sanksi bagi Hakim Konstitusi, Sodiki menjelaskan bahwa Hakim Konstitusi juga memiliki sanksi untuk diberhentikan jika melanggar kode etik hakim. “Sebagai Hakim Konstitusi, kami tidak boleh sembarangan bicara di luar persidangan. Bisa-bisa nanti omongan kami itu dijadikan referensi saat persidangan. Itu yang bahaya,” ujarnya. (Lulu A.)
Foto: Dok. Humas MK/Andhini SF