Sektor usaha pertambangan memiliki arti penting bagi perekonomian. Pemerintah, sesuai dengan prinsip demokrasi ekonomi, seharusnya mendorong usaha pertambangan dengan mengedepankan peran aktif pihak pengusaha batu bara untuk lebih produktif. Instrumen tersebut bisa melalui pengaturan pajak yang tepat sehingga prinsip efisiensi-berkeadilan, dapat terlaksana.
Hal itu diungkapkan oleh Akhmad Djazuli selaku kuasa hukum Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) dalam sidang uji materi UU 18/1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di ruang sidang MK, Rabu (1/4), dengan agenda sidang pemeriksaan pendahuluan.
Gugatan uji materi perkara 20/PUU-VII 2009 ini dimohonkan oleh Jeffrey Mulyono dan Supriatna selaku pengurus APBI. Pemohon mendalilkan bahwa penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf a UU Pajak dan Retribusi Daerah yang menjelaskan bahwa “Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air adalah pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air. Kendaraan bermotor adalah semua kendaraan beroda dua atau lebih beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat, dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alat-alat berat dan alat-alat-alat besar yang bergerak. Kendaraan di atas air adalah semua kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan yang digunakan di atas air”, dianggap bertentangan dengan alinea keempat pembukaan UUD 1945.
“Saya sebagai pemohon mengalami kerugian riil berupa pungutan pajak yang tidak semestinya untuk pajak kendaraan bermotor dan alat berat. Tentu saja, ini semua menjadikan kondisi keuangan perusahaan tidak baik dan bisa mengakibatkan tingkat kesejahteraan para pemiliki saham, karyawan, dan stakeholder lainnya menurun,” kata Jeffrey.
Selain itu, Pemohon juga mendalilkan bahwa Pasal a quo bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 karena dalam konteks pembentukan udang-undang, pengertian efisiensi-berkeadilan merupakan ranah kekuasaan legal policy. Perlu dimaknai pula bahwa efisiensi tersebut menurut pemohon juga harus membantu para pengusaha guna menjaga penyerapan tenaga kerja dan pemasukan negara melalui instrumen yang berkeadilan pula.
Menanggapi permohonan itu, Majelis Hakim Panel mempertanyakan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon apakah sudah tepat atau belum. “Pemohon di sini, atas perseorangan ataukah badan hukum privat yang menganggap kewenangan dan hak konstitusional hilang atau dilanggar dengan diterapkannya UU Pajak dan Retribusi Daerah,” tanya Hakim Konstitusi Abdul Mukthie Fadjar.
Untuk itu, Majelis Hakim member waktu selama 14 hari untuk memperbaiki permohonan. (Rojil NBA)
Foto: Dok. Humas MK/Andhini SF