Pembuat kebijakan di DPR dan Pemerintah seharusnya menggali aspirasi masyarakat sebelum membuat undang-undang atau memutuskan kebijakan. Ibukota kabupaten Maybrat adalah Fategomi. Aspirasi masyarakat kabupaten Maybart, dalam hal ini, diabaikan. Ketika dalam undang-undang dikatakan bahwa kabupaten Maybrat ada di Kumurket Distrik Aifat bukanlah aspirasi masyarakat hukum adat setempat.
Hal itu diungkapkan oleh, Sadrak Moso selaku Kepala Suku Masyarakat Hukum Adat Distrik Atinyo dalam uji materi Pasal 7 UU 13 Tahun 2009 tentang Pembentukan Kabupaten Maybrat Provinsi Papua Barat, Selasa (31/3), di ruang sidang MK.
Perkara 18/PUU-VII/2009 ini dimohonkan oleh Kesatuan Mayarakat Hukum Adat Maybrat yang terdiri dari Sadrak Moso selaku Kepala suku Distrik Aitinyo, Yerimis Nauw sebagai Kepala hukum Adat Besar Maybart, Martinus Yumame selaku Kepala Suku Masyarakat Adat Distrik Aitinyo Utara, Azaskar Jitmau sebagai Kepala suku Masyarakat Hukum Adat Anyamaru dan Willem selaku Kepala Suku Masyarakat Adat Distrik Anyamaru Utara dalam.
Para Pemohon juga mendalilkan bahwa penentuan ibukota Kabupaten Maybrat dalam UU 13/2009 tidak sesuai dengan hasil Musyawarah Adat Masyarakat Maybart dan Musyawarah Badan Perwakilan Kampung (BAPEKAM) yang telah menunjuk Fategomi sebagai ibukota. Selain itu, wilayah Kumurkek yang dijadikan ibukota, secara prasarana dan infrastruktur tidak menunjang kelancaran pemerintahan serta letak geografisnya jauh sehingga sulit dijangkau oleh masyarakat banyak.
Ropaun Rambe, Kuasa Hukum Pemohon, menyatakan bahwa pasal a quo menimbulkan konflik kesukuan antara Suku Ayamaru, Aitiyo, dan Aifat. “Suasana sehari-hari masyarakat terganggu dan tidak kondusif lagi. Masyarakat Maybrat butuh pemberdayaan dan strategi pembangunan yang tepat sehingga mensejahterakan masyarakatnya. Tapi yang terjadi justru potensi perang suku di Maybrat,” katanya kepada Majelis Hakim Panel.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 7 UU 13/2009 bertentangan dengan UUD 1945 dan menyatakan bahwa pasal a quo tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim Panel menanyakan tentang kedudukan hukum (legal standing) Pemohon terkait hak konstitusional yang dilanggar akibat diberlakukannya UU tersebut. “Hak potensial apa yang akan dirugikan. Secara de jure ibukota Maybrat sudah ada, akan tetapi secara de facto kan belum diresmikan,” tanya Hakim Konstitusi Akil Mochtar.
Akil memberikan contoh implikasi permohonan yang diajukan, di mana Pasal 7 UU 13/2009 menunjuk tempat berupa ibukota kabupaten. Apabila MK membatalkan pasal a quo, maka akan terjadi kekosongan pemerintahan di Maybrat karena tidak memiliki ibukota kabupaten dan justru merugikan pemohon serta masyarakat Maybrat. “MK tidak memiliki kewenangan untuk menambah pasal bahwa nanti yang menjadi ibukota adalah Fategomi,” lanjutnya.
Ketua Panel Hakim Achmad Sodiki memberikan waktu 14 hari kerja kepada pemohon untuk memperbaiki permohonannya terkait legal standing dan untuk memperjelas pokok permohonan apakah hanya masalah prosedural legal policy pembentukan UU a quo atau memang ada pertentangan norma antara UU 13/2009 dengan UUD 1945. (Rojil NBA)
Foto: Dok. Humas MK/Yoga Adiputra