Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji Undang-Undang Nomor 10 tentang Pemilihan umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu) khususnya tentang ketentuan perhitungan cepat (quick count). Demikian amar putusan yang dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD, Senin (30/3), di ruang sidang pleno MK.
Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 9/PUU-VII/2009 ini dimohonkan oleh Ketua Umum Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) Denny A. Yanuar dan Sekjen AROPI Umar S. Bakry.
Pemohon mengajukan permohonan uji materiil terhadap Pasal 245 ayat (2), (3), dan (5), Pasal 282, serta Pasal 307 mengenai UU Pemilu. Pasal 245 ayat (2) menyatakan bahwa pengumuman hasil survei atau jajak pendapat tidak boleh dilakukan pada masa tenang. Sedangkan Pasal 245 ayat (3) menyatakan bahwa pengumuman hasil penghitungan cepat hanya boleh dilakukan paling cepat pada hari berikutnya dari hari/tanggal pemungutan suara.
MK berpendapat hal ini akan menghalangi masyarakat untuk mendapat informasi secepat-cepatnya mengenai hasil pemilu. MK juga menganggap hal ini bertentangan dengan Pasal 28J UUD 1945 dan amar Putusan MK dalam perkara Nomor 59/PUU-VI/2008. Pelarangan quick count justru mengkriminalisasi hak konstitusionalitas warga negara Indonesia.
Selain itu, adanya hasil survei dan quick count tidak akan mempengaruhi opini publik dalam memilih karena baik survei maupun quick count mengambil data sampel dan tidak akurat 100%. Maka dalam kesimpulannya, MK menegaskan bahwa Pasal 245 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 282 serta Pasal 307 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pasal-pasal tersebut justru tidak sejalan dengan prinsip dan semangat reformasi dan mengungkung kebebasan demokrasi di Indonesia.
“Amar Putusan, Mahkamah menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian terkecuali Pasal 245 ayat (5),” ucap Mahfud.
Terhadap putusan MK tersebut, tiga Hakim Konstitusi, yakni Achmad Sodiki, M. Arsyad Sanusi dan M. Akil Mochtar menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Secara garis besar, ketiganya menganggap quick count dapat digunakan sebagai pencitraan parpol tertentu dan bukan tidak mungkin dapat ditunggangi parpol tertentu untuk meraih opini publik dalam memilih.
Sementara itu, Denny A. Yanuar mengungkapkan bahwa MK telah memulihkan tradisi demokrasi yang sehat di Indonesia. “Kami berterima kasih kepada MK karena MK sudah menegakkan kembali kebebasan akademik,” katanya.
Denny menjelaskan bahwa lembaga survei dan media massa kini dapat membuat quick count hasil Pemilu. Tak hanya itu, lanjut Denny, lembaga survei juga dapat mengumumkan hasil surveinya pada masa tenang. “Kini sudah jelas, tidak ada lagi sanksi pidana maupun jika lembaga survei mengumumkan hasil survei pada masa tenang dan mengumumkan hasil quick count pada hari Pemilu,” jelas Denny. (Lulu A.)
Foto: Dok. Humas MK/Wiwik BW