Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa Pasal 12 huruf g dan pasal 50 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan umum Anggota Dewan Pertimbangan Rakyat, Dewan Pertimbangan Daerah dan Dewan Pertimbangan Rakyat Daerah (UU Pemilu) serta pasal 58 huruf f UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally inconstitutional).
Pasal-pasal tersebut menurut Mahkamah tidak memiliki kekuatan hukum mengikat apabila sepanjang tidak memenuhi syarat antara lain tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials), berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya, dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana, serta bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
“Norma hukum tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana lima tahun penjara tahun lebih yang terkandung dalam pasal a quo jika diberlakukan tanpa syarat-syarat tertentu dapat menegasikan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan,” jelas Ketua MK Moh. Mahfud MD yang memimpin sidang pengucapan putusan tersebut pada Selasa (24/3) di gedung MK, Jakarta.
Menurut Mahfud, Mahkamah juga menilai norma tersebut melanggar hak seseorang atau warga negara atas perlakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum dan hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan yang merupakan moralitas hukum dan moralitas konstitusi.
Pada bagian lain, dengan memperhatikan putusan-putusan Mahkamah terdahulu terkait dengan substansi permohonan dan kausalitas hukum dan moralitas, MK berpendapat norma hukum yang terkandung pada pasal-pasal dalam Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dinyatakan sebagai konstitusional bersyarat (conditionally constitutional).
“Yakni dikecualikan untuk tindak pidana yang bersifat kealpaan ringan (culpa levis) dan tindak pidana karena pandangan politik,” kata Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.
Sementara itu, menurut Mahkamah, norma hukum juga tidak bisa dilepaskan dari moralitas yang mendasarinya yakni keadilan. Mahkamah mempertimbangkan permohonan dengan melihat ke belakang mengenai putusan MK sebelumnya terkait norma hukum persyaratan a quo dibandingkan dengan amnesti terhadap mereka yang terlibat Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI-Permesta), Gerakan Aceh Merdeka, dan keterlibatan langsung ataupun tidak langsung dengan G 30 S/PKI untuk menjadi calon DPR, DPD dan DPRD dalam putusan MK No. 11-17/PUU-I/2003 tanggal 24 Februari 2004.
“Dari perspektif moralitas hukum yakni rasa keadilan, rumusan norma yang demikian tidak serta merta dapat dikategorikan sebagai legal policy yang tidak dapat diuji konstitusioanalitasnya karena MK telah memutuskannya tidak konstitusional,” ucap Maruarar Siahaan menyampaikan pendapat Mahkamah.
Dalam konklusinya, Mahkamah berpendpat bahwa Undang-Undang tentang “syarat tidak pernah dijatuhi pidana” telah melanggar UUD 1945 karena merupakan ketentuan yang inkonstutusional bersyarat.
Perkara yang diregistrasi dengan nomor 4/PUU-VII/2009 tersebut dimohonkan oleh Robertus asal Pagar Alam, Sumatera Selatan (Sumsel), yang gagal menjadi calon anggota legislatif (caleg). Ia gagal menjadi caleg PDIP untuk DPRD Kabupaten Lahat, Sumsel, karena pernah dipenjara selama sembilan tahun delapan bulan, 31 tahun silam. (Rojil NBA)
Foto: Humas MK (Andhini SF)