Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materi Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu (UU PP), di ruang sidang panel gedung MK, Senin (23/3). Agenda sidang pertama ini ialah Pemeriksaan Pendahuluan.
Uji materi Perkara 16/PUU-VII/2009 ini dimohonkan oleh Badan Hukum Publik, Primer Koperasi Praja Tulada, yang diwakili Ketuanya Trijono Hardjono, Sekretaris Yason Demetrius, dan Anggota Badan Pemeriksa Andreas Felix Stefanus.
Pasal 1 angka 4 menyatakan “Pemilu Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia”. Hal tersebut, ditafsirkan Pemohon, berpotensi merugikan sistem ekonomi, sosial, dan pendidikan yang berlangsung saat ini.
“Pemilukada secara langsung akan menghasilkan pemerintahan yang korup. Pemilukada juga menghasilkan kepemimpinan yang bersifat local otoritarian. Hal itu mengakibatkan tidak tercapainya sistem demokrasi sesuai dengan amanat UUD 1945,” kata Trijono.
Trijono mencontohkan kasus di Surabaya. Ketika Pasar Turi terbakar, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hendak menemui Walikota Surabaya Bambang D.H., namun Walikota tidak mau menemuinya. “Ini menunjukkan betapa implikasi pemilukada membuat kepala daerah tidak mempedulikan sistem yang ada di atasnya. Semua berjalan sendiri-sendiri karena berpikiran bahwa saya (walikota/bupati red.) terpilih atas rakyat bukan atas Gubernur ataupun Presiden,” lanjutnya.
Trijono juga menambahkan bahwa Pemilukada justru menimbulkan berbagai masalah seperti permasalahan tindak pidana di berbagai daerah akibat kecurangan dan carut marutnya daftar pemilih tetap (DPT).
Oleh sebab itu, menurut Pemohon, pelaksanaan Pasal 1 angka 4 UU PP tidak akan bisa terlaksana sesuai Pasal 22E UUD 1945. "Tafsiran tentang hal itu bisa ganda. Pemilihan umum terutama pemilukada bisa dilakukan melalui sistem perwakilan ataupun tidak, meski sama-sama secara langsung,” paparnya.
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim Panel mempertanyakan tentang kedudukan hukum (legal standing) Pemohon terkait kerugian hak konstitusional yang dialami akibat diterapkannya UU PP ini. “Bisa saja pemilukada menghasilkan pemimpin yang tidak berkompeten dan pemilukada hanya menghamburkan uang serta merugikan ekonomi masyarakat. Akan tetapi, di sini, (kerugian) Pemohon sebagai badan hukum publik dalam bentuk koperasi atau (bentuk) perorangan perlu diperjelas lagi,” kata Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan.
Persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati ini memberi waktu 14 hari bagi Pemohon memperbaiki permohonannya, terutama tentang bagaimana menjelaskan kausalitas kedudukan hukum Pemohon yang dirugikan akibat diterapkannya UU PP tersebut. (Rojil NBA)
Foto: Dok. Humas MK/Yoga Adiputra