Otonomi Daerah merupakan bagian integral dari upaya demokratisasi di Indonesia, akan tetapi tidak serta merta terdapat jaminan bahwa otonomi daerah menghasilkan sebuah kehidupan yang lebih demokratis kalau tidak dibarengi dengan memajukan demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) secara substantif. Praktik diskriminasi yang hidup di tengah masyarakat justru dilegitimasi melalui produk kebijakan daerah berupa peraturan daerah (perda).
Hal itu diungkapkan oleh Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Kemala Chandra Kirana, dalam sambutannya di Peluncuran Temuan Perda Diskriminatif dan Dialog Nasional tentang Tugas Konstitusional Kepemimpinan Baru Pasca Pemilu bertema Bebaskan Indonesia dari Diskriminasi, Senin (23/3), di Aula gedung MK.
Komnas Perempuan, lanjut Kemala, memantau dan menemukan sebanyak 64 dari 152 kebijakan daerah di seluruh Indonesia adalah Perda yang diskriminatif terhadap perempuan.
Bentuk diskriminasi tersebut, antara lain, seperti pembatasan hak kemerdekaan berekspresi sebaanyak 21 kebijakan, pengurangan hak atas perlindungan dan kepastian hukum dengan cara mengkriminalisasi perempuan terdapat pada 38 kebijakan tentang prostitusi, satu kebijakan larangan khalwat (berduaan antara laki-laki dan perempuan red.), dan pengabaian hak atas penghidupan dan pekerjaan layak sesuai nilai kemanusiaan sebanyak empat kebijakan. “Selebihnya, 84 Perda diskriminatif terhadap kepercayaan dan keagamaan,” lanjutnya.
Kemala menambahkan bahwa UUD 1945 menjamin hak untuk mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminatif dan mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat sama guna mencapai persamaaan dan keadilan. Prakarsa Komnas Perempuan memantau Perda yang diskriminatif terhadap perempuan adalah untuk menunjukkan kontradiksi yang terjadi dalam proses demokrasi di Indonesia. “Fokus ini dimaksudkan untuk menemukan titik rentan sistem otonomi daerah sehingga ada penyempurnaan sistem tersebut,” tegasnya.
Sementara itu, dalam pemaparannya sebagai keynote speech, Ketua MK, Moh. Mahfud MD, menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi dan negara hukum (nomokrasi). Perundang-undangan, termasuk Perda, merupakan hasil demokrasi yang bisa saja dalam penetapannya diambil berdasarkan suara terbayak atau dari pihak mayoritas. “Akan tetapi, yang menang dalam demokrasi belum tentu benar dan memuat keadilan. Oleh sebab itu, Perda bisa dibatalkan melalui mekanisme judicial review,” kata mantan menteri Pertahanan era Presiden Gus Dur ini.
Mahfud juga menjelaskan bahwa Perda dapat dibatalkan oleh Pemerintah – berdasarkan laporan – bila diskriminatif, sebelum jangka waktu 60 hari. Apabila tidak ada Keputusan Presiden yang membatalkan, maka Perda akan diterapkan. “Kalau seperti itu, mekanisme judicial review atas Perda bisa diajukan ke Mahkamah Agung. Nantinya, juga bisa dilakukan legislatif review terhadap Perda melalui DPRD,” tandasnya.
Menurut Mahfud, ada empat cara menilai tata hukum yang benar. Pertama, hukum apapun tidak boleh mengurangi nilai integritas batas negara (territori) dan ideologi. Kedua, hukum dibangun melalui sistem demokrasi dan nomokrasi secara seimbang. Ketiga, hukum dibangun sesuai nilai keadilan sosial. Keempat, hukum dibuat dengan penuh toleransi nilai-nilai agama. “Kalau keempat hal itu telah termuat maka produk hukum telah benar,” tambahnya.
Dialog nasional dan peluncuran temuan Perda diskriminatif ini sengaja diselenggarakan oleh Komnas Perempuan menjelang Pemilu 2009 dengan harapan agar pemimpin dan anggota legislatif yang terpilih kelak bisa menjadikan permasalahan ini sebagai prioritas. Pengumpulan informasi yang dilakukan selama dua tahun ini merupakan salah satu upaya untuk menegakkan demokrasi dan HAM di tanah air.
Di luar ruangan diskusi, Kemala menyatakan bahwa langkah terakhir untuk judicial review Perda adalah MA. Namun, MA dalam memutus perkara hanya melihat proses prosedural saja tanpa melihat substansi. “Tentu saja, hal itu membuat kita kecewa. Perda diskriminatif jangan sampai dikeluarkan lagi setelah 10 tahun reformasi berjalan,” paparnya di hadapan para wartawan.
Kemala juga menyayangkan ketidakterbukaan MA dalam menangani judicial review. Kemala mencontohkan, ketika meminta proses dan putusan judicial review Perda Tangerang, ternyata MA tidak memiliki berkas tertulisnya. “Kita bingung dengan hal tersebut karena kita juga ingin menganalisa hasilnya. Perjuangan lainnya juga kita lakukan dengan meminta otoritas presiden untuk pembatalan Perda di sejumlah daerah yang diskriminatif,” imbuhnya. (Rojil NBA)
Foto: Humas MK/Wiwik BW