Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan Pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap UUD 1945 yang teregistrasi dengan Nomor 7/PUU-VII/2009, Kamis (19/3), di ruang sidang pleno MK. Perkara yang dimohonkan oleh Ketua Komite Bangkit Indonesia (KBI) Rizal Ramli ini mengagendakan mendengarkan keterangan Saksi dan Ahli dari Pemohon.
Saksi yang dihadirkan oleh Pemohon antara lain anggota Komnas HAM Johny Nelson Simanjuntak, Ahli di bidang politik Daniel Dhakidae, dan mantan anggota Komnas HAM Sholahuddin Wahid. Dalam kesaksiannya, Johny Nelson Simanjuntak mengungkapkan bahwa kebebasan berpendapat merupakan hak positif setiap warga negara, maka hak itu harus dijamin oleh Pemerintah. “Dengan adanya kebebasan berpendapat, Pemerintah dapat diawasi oleh masyarakat,” jelasnya.
Johny memaparkan seharusnya peran negara dalam menjamin dan melindungi kebebasan berpendapat terbagi menjadi dua, yakni aktif dan pasif. Peran aktif, lanjut Johny, dapat dilakukan negara dengan menciptakan regulasi ataupun dengan menciptakan kondisi. Sedangkan untuk peran yang pasif adalah dengan berusaha untuk tidak mencampuri kebebasan berpendapat warganya. Jadi, jika ada warga yang berpendapat dengan kritis seharusnya dilindungi karena ia mampu memaparkan apa yang terselubung dari pendapat umum.
Menurut Johny, yang perlu dicamkan adalah warga yang berpandangan kritis biasanya memiliki informasi lebih banyak dari warga pada umumnya. Kalau ia menyampaikan pandangannya, lanjut Johny, itu belum tentu bermaksud untuk menghasut. “Jangan menjadikan Pasal 160 KUHP sebagai alat untuk membunuh mereka yang kritis,” paparnya.
Johny melihat permasalahan yang ada di Pasal 160 adalah mengenai kelenturan kata “menghasut”. Menurut Johny, kata “menghasut memiliki banyak makna. “Pasal 160 KUHP ini digunakan sewenang-wenang. Seharusnya ada penjelasan lebih rinci mengenai arti kata “menghasut” dalam pasal ini oleh Badan Legislatif,” ujar Johny.
Sementara itu, Daniel Dhakidae menyampaikan bahwa Pasal 160 KUHP adalah warisan dari pasal penanam kebencian yang dibuat pada zaman kolonial Belanda. Pasal ini digunakan untuk membungkam dan membredel segala sesuatu yang tidak disukai penguasa. “Pasal 160 KUHP merupakan alat penindasan yang digunakan untuk membatasi opini publik. Jika pasal ini terus dipertahankan, apakah justru tidak akan kembali ke zaman kolonial Belanda?” papar Daniel.
Daniel juga memberi penjelasan bahwa pelanggaran terhadap Pasal 160 KUHP justru membuat Indonesia lepas dari penjajahan Belanda. Ketua Majelis Hakim Mahfud MD pun memberi tanggapan kepada Ahli. “Kalau sewaktu zaman kolonial Belanda, pelanggaran terhadap Pasal 160 KUHP ini bisa membuahkan kemerdekaan serta di zaman Orde Baru melahirkan reformasi, kenapa tidak diserahkan pada seleksi alam saja? Bukankah lebih baik diserahkan kepada pengadilan tinggi?” tanyanya.
Direktur Ligitasi DEPHUKHAM Qomaruddin, dari pihak Pemerintah, menegaskan bahwa Pasal 160 KUHP sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945. “Jika Pasal 160 KUHP bertentangan dengan UUD 1945, maka hal itu akan membuat negara menjadi kacau karena tidak ada undang-undang yang menjerat orang-orang yang menghasut dalam arti negatif,” ujarnya.
Pemohon yang diwakili oleh kuasa hukumnya Sirra Prayuna, S.H., dkk menyatakan bahwa Pasal 160 KUHP berpotensi mengancam keberlangsungan demokrasi di Indonesia.
Rizal Ramli ditetapkan sebagai tersangka oleh Mabes POLRI berkaitan dengan demonstrasi anarkis menentang kenaikan harga BBM selama kurun waktu Mei-Juni 2008. Ia dijerat dengan Pasal 160 KUHP dengan ancaman enam tahun penjara. (Lulu A.)
Foto: Dok. Humas MK/Wiwik BW