Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji Undang-Undang Nomor 10 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu), Selasa (17/3), di ruang sidang MK. Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 9/PUU-VII/2009 ini mengagendakan mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR, dan Saksi/Ahli dari Pemohon.
Perkara ini dimohonkan oleh Ketua Umum Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) Denny Yanuar Ali dan Sekjen AROPI Umar S. Bakry. Dalam sidang ketiga ini, Pemerintah yang diwakili oleh Direktur Litigasi Departemen Hukum dan HAM, Qomaruddin, menegaskan bahwa ketentuan yang tertera pada Pasal 245 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), kemudian Pasal 282 serta Pasal 307 UU Pemilu tidak bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945.
“Dalam pasal yang diujikan, justru memberikan perlakuan yang sama bagi warga negara untuk mendapat jaminan hukum termasuk pemohon. Tidak ada kerugian sama sekali yang diderita pemohon atas pasal ini,” jelas Qomaruddin.
Qomaruddin juga menegaskan alasan yang mendasari dibuatnya pasal yang diujikan adalah untuk menjamin kelancaran dan kesuksesan Pemilu. “Dengan adanya perhitungan cepat justru melanggar hak-hak konstitusi warga negara dan mempengaruhi suara yang akan diperoleh oleh parpol yang bersaing dalam pemilu,” paparnya.
Namun keterangan dari Pemerintah ini dibantah oleh para Saksi dan Ahli Pemohon, antara lain, Direktur Indonesia Legal Roundtable A. Irman Putra Sidin, Lektor Kepala Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda, Direktur Indo Barometer Muhammad Qodari, dan Arman Salam dari Lingkaran Survey Indonesia.
Irmanputra Sidin mengungkapkan bahwa keterangan yang diberikan Pemerintah justru bertentangan dengan putusan MK dalam Perkara 59/PUU-VI/2008 yang menyatakan bahwa masyarakat berhak mendapat informasi yang secepat-cepatnya mengenai hasil Pemilu.
Irman juga menuturkan bahwa hasil quick count tidak mengikat dan tidak mempengaruhi keputusan masyarakat. Misalnya saja, lanjut Irman, pada Pemilu 2004 lalu disebutkan melalui hasil survei bahwa Amien Rais menduduki peringkat pertama, namun kenyataannya Amien justru menduduki posisi ke empat. Jadi, masyarakat tidak begitu terpengaruh dengan hasil survei maupun quick count. “Lagipula quick count tidak diharamkan oleh UUD 1945. Seharusnya Pemerintah mengapresiasi hak masyarakat untuk meperoleh informasi secepat-cepatnya,” papar Irman.
Sementara itu, Chairul Huda mengungkapkan bahwa Pasal 282 dan 307 merupakan pasal multitafsir dan pasal karet. Dalam pasal 282 misalnya, jelas Chairul, semua survei baik yang berkaitan dengan pemilu maupun tidak menjadi dilarang untuk dilakukan. “Hal ini jelas mengganggu hak konstitusi orang banyak karena norma ini mencakup seluruh survei,” papar Chairul.
Selanjutnya, Chairul menegaskan bahwa pasal-pasal yang diujikan jadi bersifat over kriminalisasi karena melarang tanpa adanya dasar yang kuat. Sementara itu, Muhammad Qodari dalam kesaksiannya menyatakan bahwa lahirnya Pasal 245 berdasarkan kekhawatiran anggota DPR dan parpol yang takut masyarakat akan terpengaruh hasil survei dalam memilih. “Banyak alasan selain survei dan quick count yang bisa mempengaruhi masyarakat dalam memilih,” tegas Qodari.
Arman Salam, Peneliti di LSI, mengungkapkan pelarangan quick count sama saja dengan pemasungan hak warga negara. Hal senada juga diungkapkan Pemohon, Denny Yanuar Ali dalam keterangannya bahwa di luar negeri hasil quick count diapresiasi oleh pemerintahnya, tapi di Indonesia justru menjadi tindakan kriminal.
“Jika MK tidak membatalkan pasal-pasal yang kami mohonkan untuk diuji, maka MK telah memenjarakan para periset Indonesia. Indonesia akan menjadi satu-satunya negara demokrasi di dunia yang melakukan hal itu,” tegas Denny.
Majelis Hakim yang diketuai Moh. Mahfud MD, memberi waktu tiga hari kepada Pemohon dan Pemerintah untuk membuat kesimpulan. (Lulu A.)
Foto: Humas MK/Yoga Adiputra