Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan terhadap Perkara Nomor 7/PUU-VII/2009 yang dimohonkan oleh Ketua Komite Bangkit Indonesia (KBI) Rizal Ramli, Kamis (12/3). Sidang pleno ini mengagendakan mendengar keterangan Pemerintah dan Saksi serta Ahli Pemohon.
Hadir mewakili Pemerintah adalah Dr. Muzakkir S.H., M.H. sebagai Tim Revisi KUHP. Selain itu, Pemerintah juga diwakili oleh Direktur Litigasi DEPHUKHAM Qomaruddin, Mualimin Abdi, serta dari Kejaksaan Agung.
Muzakkir sebagai wakil Pemerintah memberikan pertimbangan kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Mahfud MD bahwa jika dilakukan uji konstitusionalitas terhadap Pasal 160 KUHP, maka berarti juga menguji konstitusionalitas pasal lain yang memiliki substansi norma hukum pidana yang sama dengan Pasal 160 KUHP. “Oleh karena itu, sebelum menguji Pasal 160 harus terlebih dahulu dijelaskan mengenai substansi norma hukum pidana yang ada di dalam Pasal 160,” ujar Muzakkir.
Muzakkir juga menjelaskan mengenai unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 160 KUHP yang bisa terkena ancaman hukuman enam tahun penjara atau denda Rp4.500,00. Menurut Muzakkir, kegiatan menghasut yang dimaksud dalam Pasal 160 KUHP, yakni melakukan hukum pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum, tidak menuruti ketentuan UU, dan tidak menuruti perintah jabatan berdasarkan UU.
Kegiatan menghasut dalam Pasal 160 KUHP itu bersifat limitatif. Maka jelas, lanjut Muzakkir, penghasutan tidak boleh ditafsirkan secara meluas atau tidak terbatas. Norma pidana yang ada dalam Pasal 160 KUHP dihubungkan dengan Pasal 28, pasal 28C ayat (2), Pasal 28 E ayat (2) dan (3), serta Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 mengenai kebebasan berpendapat. “Jadi, tidak ada pertentangan antara norma hukum pada Pasal 160 KUHP dengan norma hukum yang tercantum dalam UUD 1945,” jelas Muzakkir.
Pemohon yang diwakili oleh kuasa hukumnya, Sirra Prayuna, S.H.,dkk menghadirkan Saksi, Juru Bicara KBI, Adi Massardi. Dalam kesaksiannya, Adi mengutarakan bahwa Pasal 160 KUHP merupakan pasal karet yang menjadi alat penguasa untuk membungkam lawan politik. Mabes POLRI menjadikan rekaman seminar dan diskusi KBI tanggal 24 April 2008 itu sebagai bukti kuat untuk menjerat dengan Pasal 160 KUHP. “Itu bukanlah bukti yang kuat. Oleh karena itu, bagi kami, Pasal 160 KUHP itu benar-benar pasal karet yang bisa ditarik kemana-mana sehingga bisa ditafsirkan secara meluas,” papar Adi.
Adi juga menjelaskan bahwa Rizal hanya melakukan demokrasi langsung. Namun dengan adanya Pasal 160 KUHP, maka demokrasi langsung ini menjadi rentan untuk ditunggangi penguasa demi kepentingan politiknya. “Pasal ini selalu digunakan untuk menjerat lawan-lawan politiknya sehingga sangat rentan dan sulit untuk tidak ditafsirkan sesuai dengan keinginan penguasa,” tegasnya.
Adi mengharapkan adanya revisi total terhadap pasal-pasal yang dapat digunakan untuk menindas lawan-lawan politik penguasa termasuk Pasal 160 KUHP. Mahfud MD sebagai hakim ketua pada persidangan ini memutuskan akan melanjutkan persidangan pada tanggal 19 Maret 2009 mendatang untuk mendengarkan saksi yang belum hadir pada sidang hari ini, di antaranya Sholahuddin Wahid, Johny Nelson Simanjuntak, DR Rudi Satrio, S.H., M.H., serta Daniel Dhakidae, Ph.D.
Rizal Ramli ditetapkan sebagai tersangka oleh Mabes POLRI berkaitan dengan demonstrasi anarkis menentang kenaikan harga BBM selama kurun waktu Mei-Juni 2008. Ia dijerat dengan Pasal 160 KUHP dengan ancaman enam tahun penjara. (Lulu A.)
Foto: Dok. Humas MK/Wiwik BW