Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (11/3), menggelar sidang pertama uji Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) terhadap UUD 1945. Perkara ini diajukan oleh dua pemohon berbeda dengan nomor perkara berbeda pula.
Perkara nomor 11/PUU-VII/2009 diajukan oleh Aep Saepudin, Kristiono Iman Santoso, Sandi Sahrinnurrahman, S.Tp., Mega Yulianan Lukita BT Luki, Dai, A. Shalihin Mudjiono, Eruswandi, Utomo Dananjaya, RR. Chitra Retna S, dan Yanti Sriyulianti dengan kuasa hukum Gatot Goei, S.H., dkk. Para pemohon merupakan perwakilan dari elemen-elemen yang terdapat dalam masyarakat, yakni orangtua, pelajar, dan mahasiswa yang merasa hak konstitusionalnya terlanggar dalam mendapatkan pendidikan. Sedangkan untuk Perkara nomor 14/PUU-VII/2009 diajukan oleh Aminuddin Ma’ruf.
Para pemohon menganggap pasal-pasal yang tercantum di dalam UU BHP khususnya mengenai pembebanan biaya pendidikan kepada masyarakat bertentangan dengan Paragraf Keempat Pembukaan UUD 1945 serta Pasal 28B ayat (2), Pasal 28I ayat (2), Pasal 31 ayat (1), (2), dan (4) tentang pendidikan serta perlindungan anak dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji, yakni Pasal 6 ayat (2), Pasal 9, Pasal 41 ayat (5), (7), dan (9), Pasal 47 ayat (2), Pasal 12 ayat (1) huruf c dan d, Pasal 12 ayat (2) huruf b, Pasal 46 ayat (1), Pasal 24 ayat (3), Pasal 56 ayat (2) dan (3) serta Pasal 57 huruf b dan c.
“Secara tidak langsung melalui pasal-pasal yang tercantum dalam UU BHP, negara melepas tanggung jawabnya mengenai masalah biaya pendidikan. Seharusnya dana pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat. Selain itu, pasal-pasal tersebut berpotensi menimbulkan disintegrasi bangsa,” papar Gatot.
Selain itu, Pemohon meminta kepada Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Muhammad Alim agar permohonannya dikabulkan karena menganggap pasal-pasal dalam UU BHP dan Sisdiknas tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. “Selain itu, jika permohonan kami dikabulkan, maka diskriminasi sosial dalam dunia pendidikan akan hilang,” jelas Gatot.
Dalam pasal-pasal yang dimohonkan tersebut, para Pemohon utamanya mempermasalahkan klausula yang tercantum dalam Pasal 41 ayat (5), (7), (9). Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa pemerintah hanya menanggung biaya pendidikan dengan standar pelayanan minimal. Menurut para Pemohon, hal inilah yang menyebabkan biaya pendidikan menjadi mahal. Padahal pada Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan.
UU BHP, menurut Pemohon, mendorong kampus-kampus negeri untuk membiayai kebutuhannya sendiri sehingga membuat biaya pendidikan di kampus-kampus negeri menjadi mahal. Padahal sudah menjadi kewajiban negara untuk membiayai pendidikan rakyatnya. “Jelas-jelas UUD 1945 yang mengamanatkan negara untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekuarang-kurangnya 20% dari APBN/APBD,” tegas Aminuddin Ma’ruf, pemohon yang masih berstatus sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi UNJ.
Hakim Konstitusi Muhammad Alim sebagai pemimpin sidang menyatakan kepada para Pemohon agar melakukan beberapa perubahan. “Kepada para pemohon, tolong jangan menyuruh MK untuk mengubah undang-undang atau menyusun undang-undang sesuai keinginan anda, karena itu bukan kewenangan MK. MK hanya memiliki wewenang untuk menguji norma konstitusionalnya saja,” jelas Alim yang didampingi oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dan Arsyad Sanusi.
Di samping itu, Pemohon Perkara nomor 11/PUU-VII/2009 juga turut memohonkan uji materiil terhadap UU Sisdiknas terutama Pasal 6, Pasal 7 ayat (2), Pasal 9, Pasal 11 ayat (2), Pasal 12 ayat 1 huruf c dan d, Pasal 12 ayat (2) butir b, Pasal 24 ayat (3), Pasal 46 ayat (1), Pasal 47 ayat (2), serta Pasal 56 ayat (1), (2), dan (3). (Lulu A.)
Foto: Dok. Humas MK/Andhini SF