Mahkamah Konstitusi (MK) gelar sidang perbaikan Permohonan Uji Undang-Undang Nomor 10 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan rakyat Daerah (UU Pemilu), Jumat (6/3). Perkara Nomor 9/PUU-VII/2009 ini dimohonkan oleh Ketua Umum Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) Denny Yanuar Ali dan Sekjen AROPI Umar S. Bakry.
Dalam persidangan ini, Denny yang diwakili oleh Kuasa Hukumnya Andi M. Asrun dan Bachtiar Sitanggang mengajukan beberapa argumen tentang pelarangan publikasi perhitungan cepat (quick count) di hari pencontrengan pemilu, 9 April 2009, nanti. Beberapa hal yang disampaikan sebagai argumen, di antaranya pelarangan itu bertentangan dengan esensi quick count serta tidak sesuai dengan peradaban ilmu dan teknologi yang sedang berkembang.
Tak hanya itu, pelarangan quick count, oleh Denny, dianggap menjadi sebuah ketidaklaziman di negara demokrasi, seperti di Indonesia. Menurut Denny, pemilu merupakan hari besar bagi seluruh lembaga survei di seluruh dunia karena pada hari itu lembaga survei dan media massa mengumumkan hasil pemilu. “Di luar negeri, quick count merupakan hal biasa. Namun di Indonesia jika hal itu dikerjakan, maka akan dipenjara karena termasuk tindakan kriminal,” jelas Denny.
Denny juga memaparkan bahwa untuk pertama kalinya di Indonesia, sebuah asosiasi mempertahankan kebebasan akademik karena merasa dibatasi oleh undang-undang. “Kami berharap sebelum tanggal 9 April sudah ada keputusan dari MK, apakah negara kita akan mengikuti demokrasi semua negara di dunia dengan memperbolehkan quick count,” ujar Denny.
Disinggung mengenai kemungkinan parpol akan lebih mempercayai hasil quick count, Denny menuturkan bahwa hasil quick count hanyalah proyeksi. “Semua juga tahu ini bukan hasil resmi, seperti halnya ketika pemilukada. Semua murni bersifat ilmiah. Hasil quick count hanyalah proyeksi,” jelas Denny.
Dalam permohonan awal, Pemohon meminta MK membatalkan keberlakuan Pasal 245 ayat (2), ayat (3) dan ayat (5) UU Pemilu terkait pembatasan waktu dikeluarkannya hasil perhitungan cepat (quick count) pada Pemilu 2009 nanti. Dalam perbaikan permohonan, Pemohon mengubah petitumnya dengan meminta MK membatalkan keberlakuan Pasal 245 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), kemudian Pasal 282 serta Pasal 307 UU Pemilu karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. (Lulu A.)
Foto: Dok. Humas MK/Wiwik BW