Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perkara uji materi Pasal 1 angka 3, Pasal 6A, Pasal 76, Pasal 86, dan Pasal 86A Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (UU Kepabeanan), Kamis (26/02), di ruang sidang MK, dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan.
Sidang perkara Nomor 12/PUU-VII/2009 yang dimohonkan oleh Philipus P. Soekirno didampingi Julinar ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Abdul Mukthie Fadjar. Dalam permohonannya, Soekirno, yang sekaligus Ketua Umum Asosiasi Pedagang dan Pemakai Bahan Berbahaya (ASPEMBAYA), menyatakan keberatan atas pasal-pasal a quo UU Kepabeanan karena memberatkan dirinya sebagai pengimpor bahan kimia berbahaya. “Padahal, bahan-bahan tersebut dipergunakan untuk kepentingan kemajuan negara Indonesia. Bukan untuk kepentingan terorisme,” tegas Soekirno.
Soekirno juga menyebutkan, kini dirinya dibebani registrasi di dua instansi yakni Departemen Perdagangan dan Bea dan Cukai. Selain itu, Pemohon kini tak lagi bisa melakukan impor barang meskipun telah mengantongi ijin dari Departemen Perdagangan yang umum disebut API (Angka Pengenal Importir).
Menurut Pemohon, berdasarkan Pasal 18 ayat (2) UUD 1945, seharusnya wewenang pengawasan Kepabeanan juga menjadi bagian dari wewenang Pemerintah Daerah melalui Dinas Perhubungan, supaya tidak dimonopoli oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Sedangkan, berdasarkan Pasal 17 ayat (3) UUD 1945, menurut Pemohon, seharusnya registrasi hanya dilakukan di Departemen Perdagangan karena terkait dengan hukum administrasi perdagangan yang tidak menjadi wewenang Dirjen Bea dan Cukai cq. Menteri Keuangan RI.
Sebelum mengajukan perkara ini ke MK, Pemohon yang juga menjabat Direktur PT. Agung Kimia Jaya Mandiri ini pernah mengajukan gugatan juga terhadap UU No. 10/1995 ke Mahkamah Agung (MA). Akan tetapi, setelah diubah menjadi undang-undang yang baru ini, masih terdapat beberapa ketentuan yang dahulu pernah digugat.
Pasal-pasal a quo UU Kepabeanan ini, menurut Soekirno, bisa mengancam perusahaannya menjadi bangkrut, yang berarti juga merugikan 200 karyawan dan keluarganya. Jika demikian, lanjutnya, pasal-pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Untuk itu, di dalam petitumnya, Pemohon meminta MK menyatakan pasal-pasal a quo UU Kepabeanan beserta penjelasannya bertentangan dengan Pasal 17 ayat (3), Pasal 18 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 30 ayat (2) dan ayat (4) UUD 1945.
Setelah membacakan permohonannya, para Hakim Konstitusi meminta klarifikasi kepada Pemohon untuk memperjelas permohonannya, karena sepertinya yang dipersoalkan dalam Permohonan ini lebih mengarah pada pembagian kewenangan antar departemen daripada pertentangan undang-undang terhadap UUD 1945. “Jangan-jangan, yang salah itu pelaksanaannya, tetapi yang disalahkan undang-undangnya,” kata Mukthie.
Untuk itu, Mukthie meminta Permohonan ini diperbaiki dalam waktu 14 hari kerja. (Sahlul Foe)
Foto: Dok. Humas MK/Wiwik BW