MK melanjutkan sidang uji materi Undang-Undang Nomor 39 tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1985 tentang Bea Cukai (UU Cukai) terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dengan agenda mendengar keterangan ahli dari pihak Pemerintah, Selasa (24/2). Dalam persidangan kali ini, Pemerintah mendatangkan Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai ahli.
Perkara 54/PUU-VI/2008 ini diajukan oleh Gubernur Nusa Tenggara Barat, H.M. Zainul Majdi, MA, mewakili Pemerintah NTB. Pemohon meminta MK membatalkan Pasal 66A ayat (1) UU Cukai karena bertentangan dengan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Pasal 66A ayat (1) menyatakan: Penerimaan Negara dari cukai hasil tembakau yang dibuat di Indonesia dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau sebesar 2% (dua persen) yang digunakan untuk mendanai peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan/atau pemberantasan barang kena cukai ilegal.
NTB, sebagai provinsi penghasil tembakau terbesar di Indonesia, merasa sangat dirugikan atas berlakunya Pasal 66A ayat (1) UU Cukai karena, berdasarkan kenyataan, cukai hasil tembakau hanya diberikan kepada provinsi penghasil cukai tembakau, dalam hal ini provinsi yang memiliki pabrik rokok, sedangkan Provinsi NTB tidak.
Melanjutkan pemaparannya tentang cukai hasil tembakau, Sri Mulyani mengatakan bahwa harus ada pembedaan provinsi sebagai penghasil cukai tembakau dan penghasil tembakau. Ketentuan dalam Pasal 66A ayat (1) sudah sesuai dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Tidak hanya masalah cukai, sambung Mulyani, daerah-daerah seringkali meminta dana untuk kesejahteraan masyarakat dan pelestarian lingkungan dari pemerintah pusat. Jaminan dana untuk kesejahteraan tersebut sebenarnya telah dialokasikan seluruhnya melalui dana alokasi umum dan telah sesuai konteks menurut standar nasional. “Apabila Pasal tersebut dibatalkan oleh MK, maka yang rugi adalah daerah,” tandas Sri Mulyani.
Sementara itu, Kuasa Hukum Pemohon, Andy Hadiyanto, menyatakan bahwa Provinsi NTB hanya ingin mendapatkan haknya yakni 2% dari hasil cukai tembakau. “Selama ini NTB berjasa besar terhadap negara melalui hasil tembakau, tapi tidak pernah menikmati hasil tersebut. Jadi, wajar saja kalau NTB menginginkannya demi kesejahteraan petani tembakau,” katanya.
Menanggapi hal tersebut, Sri Mulyani menjelaskan bahwa cukai hasil tembakau digunakan untuk membatasi frekuensi masyarakat dalam mengkonsumsi tembakau terutama rokok demi kesehatan. “Sebagai konsekuensinya, hasil cukai tersebut nantinya digunakan untuk dunia kesehatan,” tambahnya. (Rojil NBA)
foto: Dok. Humas MK/Annisa L