Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Sulawesi Utara menguji Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan ini, Senin (23/2), mereka diwakili oleh, antara lain, Pnt. Billy Lombok, Jeffrey Delarue, ST., Janny Kopalit, dan Goinpeace Tumbel. Mereka menyatakan Pasal 1, Pasal 4 dan Pasal 10 UU Pornografi merugikan dan tidak memberikan batasan jelas serta pasti untuk menilai pelanggaran nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.
Para Pemohon juga mempersoalkan definisi “pornografi” yang digunakan dalam UU a quo karena memuat pengertian yang sangat bias dan dangkal dalam membatasi apa yang dimaksud dengan pornografi. Menurut mereka, pornografi merupakan hal yang relatif karena berhubungan dengan imajinasi seseorang atas pandangan. “Bahwa dengan terbukanya penggunaan definisi yang dapat ditafsirkan oleh setiap orang, akan berakibat tidak adanya kepastian hukum,” tegas salah seorang Pemohon.
Kemudian, mengenai Pasal 4 UU Pornografi yang menyebutkan “Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi.” dianggap telah melanggar hak konstitusional para pekerja seni, khususnya di wilayah Minahasa. Para pekerja seni tersebut mencari nafkah dengan memperjualbelikan benda-benda seni yang secara eksplisit memuat ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan misalnya, lukisan, patung, pahatan, dan lainnya.
“Adanya Pasal 4 tersebut dapat mengakibatkan para pekerja seni di Minahasa tidak dapat mencari nafkah,” ujar para Pemohon.
Mengenai Pasal 10 UU Pornografi, para Pemohon menilai ada kekaburan dalam istilah “menggambarkan ketelanjangan” karena mengandung tafsir subyektif yang beragam di antara daerah-daerah di Indonesia. Bagaimanapun, Indonesia adalah negara yang pluralis sehingga penilaian “menggambarkan ketelanjangan” antara daerah satu dengan yang lain tidaklah sama.
Para pemohon juga menyatakan, seharusnya sebuah undang-undang yang diundangkan memiliki satu makna yang universal di antara seluruh warga Indonesia. Tujuannya, agar tidak terjadi kesalahpahaman mengenai undang-undang.
Terkait semua alasan tersebut, akhirnya para Pemohon meminta MK mengabulkan permohonan mereka dan menyatakan semua pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya. (Nano Tresna A.)
Foto: Dok. Humas MK/Yogi Dj