Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Seram Bagian Timur, Kabupaten Seram Bagian Barat, dan Kabupaten Kepulauan Aru (UU Seram) terhadap UUD 1945, Selasa (17/02) pukul 14.00 WIB, di ruang sidang MK.
Perkara nomor 8/PUU-VII/2009 ini dimohonkan oleh delapan orang raja, dengan didampingi Kuasa Hukum Anthoni Hatane, S.H., dkk. Para raja yang mendiami wilayah perbatasan antara Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) dan Kabupaten Maluku Tengah ini menilai terdapat ketidakseusaian norma konstitusi yang berkaitan dengan ketetapan batas wilayahnya.
Dalam petitumnya, para Pemohon meminta MK Menyatakan Lampiran II UU Seram menyangkut peta wilayah yang menetapkan batas wilayah administrasi bagian timur antara Kabupaten SBB dan Kabupaten Maluku Tengah di sungai Makina Kecamatan Seram Utara dan di sungai Mala Kecamatan Amahi dan batas wilayah administrasi bagian selatan di Laut Banda bertentangan dengan norma-norma konstitusi, khususnya yang terkandung dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) juncto Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.
Menurut Pemohon, Lampiran II UU a quo telah memuat batas-batas wilayah Kabupaten SBB yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU a quo. Batas-batas wilayah tersebut, menurut para Pemohon, telah melewati wilayah tempat tinggal para Pemohon dan masyarakat yang dipimpinnya, yang berada di wilayah Kabupaten Maluku Tengah. “Hal ini menunjukkan bahwa Pembuat Undang-Undang dalam merumuskan pasal undang-undang dan lampiran dua undang-undang a quo tidak didasari oleh suatu penelitian di lapangan karena bertentangan (norma) antara satu dengan lainnya,” jelas Pemohon.
Pera Pemohon juga menilai pertentangan tersebut menunjukkan bahwa Menteri Dalam Negeri hanya menentukan batas wilayah administrasi Kabupaten SBB dan Kabupaten Maluku Tengah berdasarkan asumsi belaka.
Tanpa adanya penelitian lapangan tersebut, para Pemohon merasa dirugikan karena penentuan batas wilayah administrasi pemerintahan suatu kabupaten seharunya atas persetujuan para Pemohon dan masyarakat yang dipimpinnya. Akan tetapi, dengan berlakunya Lampiran II UU a quo maka wilayah administrasi pemerintahan dan hak pertuanan dari para Pemohon dan masyarakatnya telah dimasukkan secara sepihak oleh Pembuat Undang-Undang ke dalam wilayah Administrasi Pemerintahan Kabupaten SBB, tanpa sepengetahuan dan persetujuan para Pemohon dan masyarakatnya yang secara nyata adalah warga masyarakat Kabupaten Maluku Tengah.
Pertentangan lain yang muncul pada UU a quo, menurut penilaian para Pemohon, terjadi antara Pasal 7 ayat (5) yang menyatakan penentuan batas wilayah administrasi ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri dengan kenyataan bahwa penetapan tersebut dibuat dan ditandatangani oleh Presiden RI. (Sahlul Foe)
Foto: Dok. Humas MK/Wiwik BW