Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan contoh peradilan modern di Indonesia yang harus terus diperbaiki dan teguhkan. Demikian pernyataan Hakim Konstitusi Akil Mochtar ketika bertindak sebagai pembicara dalam forum kunjungan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Selasa (17/2), di MK.
Acara yang diadakan hari Selasa (17/2) di Ruang Konferensi, Gedung Mahkamah Konstitusi ini, dihadiri sekitar 30 mahasiswa yang berasal dari Fakultas Hukum UII.
Akil juga menjelaskan mengenai keunggulan yang dimiliki oleh MK, seperti, ketiadaan biaya dan proses peradilan yang dilakukan secara terbuka. MK, papar Akil, adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang dibentuk berdasarkan Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945 perubahan ketiga. Pembentukannya dikukuhkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
MK, sambung Akil, berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, serta wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Sedangkan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilu kepala daerah baru dialihkan dari Mahkamah Agung ke MK pada 1 November 2008. Pada tahap pertama, MK telah menyelesaikan sengketa Pilkada sebanyak satu provinsi dan 20 kabupaten/kota di Indonesia. “Sebagai salah satu contoh kasus adalah pemilukada Jawa Timur,” jelas Akil Mochtar.
Selanjutnya, Akil juga menjelaskan mengenai fungsi MK, di antaranya sebagai pengawal konstitusi, penafsir tunggal konstitusi, pengawal demokrasi, serta sebagai pelindung hak asasi manusia. Akil juga menegaskan, “MK harus bisa menjadi penegak hukum konstitusional di tengah masyarakat agar konstitusi dapat dihormati. Yang terpenting adalah MK tidak boleh memihak dan berintegritas serta para hakim memiliki keteguhan dalam memegang janji yang sudah diucapkan. Hal ini semata-mata agar MK tetap bisa dipercaya,” ujarnya.
Disinggung mengenai dasar pengambilan keputusan MK, Akil menegaskan bahwa putusan MK didasarkan pada keadilan dan kebenaran. “MK harus mengambil keputusan secara netral dan objektif yang berdasar keadilan serta kebenaran,” ujar Akil.
Sementara itu, Moderator diskusi, Budi Agus Suswandi, salah satu dosen Pascasarjana UII Yogyakarta, menuturkan bahwa MK termasuk lembaga yang berwibawa. “Sampai sejauh ini antara praktik dan teori masih konsisten. Kami dari perguruan tinggi berharap agar MK menjadi teladan bagi semua komponen, semua bangsa,” harap Budi mengakhiri perbincangan. (Lulu A.)
Foto: Dok. Humas MK/Andhini SF