Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa kebijakan parliamentary threshold (PT) tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut dinyatakan dalam sidang pengucapan putusan perkara 3/PUU-VII/2009, Jumat (13/2), di ruang sidang MK.
Pemohon perkara tersebut adalah partai-partai politik peserta Pemilu 2009, yaitu Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Patriot (PP), Partai Persatuan Daerah (PPD), Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), Partai Indonesia Sejahtera (PIS), Partai Nasional Banteng Kerakyatan (PNBK) Indonesia, Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB), Partai Karya Perjuangan (Pakar Pangan), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI), dan Partai Merdeka, serta calon anggota DPR peserta Pemilu 2009 dan anggota Parpol peserta Pemilu 2009.
Mereka menganggap Pasal 202 ayat (1), Pasal 203, Pasal 205, Pasal 206, Pasal 207, Pasal 208, dan Pasal 209 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu) yang terkait dengan pemberlakuan PT tidak konstitusional.
Di antara ketiga kelompok Pemohon tersebut, MK menyatakan bahwa hanya anggota Parpol peserta Pemilu 2009 yang tidak memenuhi syarat sebagai Pemohon, karena tidak menunjukkan bukti kartu keanggotaan partai politiknya.
Terkait dengan pokok permohonan, MK berpendapat lembaga legislatif dapat menentukan ambang batas sebagai legal policy bagi eksistensi partai politik baik berbentuk electoral threshold (ET) maupun PT. “Kebijakan seperti ini diperbolehkan oleh konstitusi sebagai politik penyederhanaan kepartaian karena pada hakikatnya adanya Undang-Undang tentang Sistem Kepartaian atau Undang-Undang Politik yang terkait memang dimaksudkan untuk membuat pembatasan-pembatasan sebatas yang dibenarkan oleh konstitusi,” ucap Hakim Konstitusi Abdul Mukthie Fadjar membacakan pertimbangan putusan.
Mengenai berapa besarnya angka ambang batas, menurut MK, adalah menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk menentukannya tanpa boleh dicampuri oleh MK selama tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas.
“Ketentuan mengenai adanya PT seperti yang diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 tidak melanggar konstitusi karena ketentuan Undang-Undang a quo telah memberi peluang bagi setiap warga negara untuk membentuk partai politik tetapi sekaligus diseleksi dan dibatasi secara rasional melalui ketentuan PT untuk dapat memiliki wakil di DPR,“ jelas Mukthie.
Lebih lanjut, Mukthie mengungkapkan, di mana pun di dunia ini konstitusi selalu memberi kewenangan kepada pembentuk Undang-Undang untuk menentukan batasan-batasan dalam Undang-Undang bagi pelaksanaan hak-hak politik rakyat.
Walau begitu, MK menilai, pembentuk Undang-Undang tidak konsisten dengan kebijakan-kebijakannya yang terkait Pemilu dan terkesan selalu bereksperimen dan belum mempunyai desain yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan sistem kepartaian sederhana yang hendak diciptakannya, sehingga setiap menjelang Pemilu selalu diikuti dengan pembentukan Undang-Undang baru di bidang politik, yaitu Undang-Undang mengenai Partai Politik, Undang-Undang mengenai Pemilu, dan Undang-Undang mengenai Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Terlepas dari itu, MK memutuskan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. “Dalil-dalil para Pemohon tidak cukup beralasan untuk dikabulkan,“ ungkap Ketua MK, Moh. Mahfud MD.
Terhadap putusan ini, dua hakim konstitusi, Maruarar Siahaan dan M. Akil Mochtar, mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion). Maruarar dan Akil Mochtar berpendapat pasal-pasal mengenai PT dalam UU 102008 bertentangan dengan UUD 1945, dan seharusnya dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (Luthfi Widagdo Eddyono)
Foto: Dok. Humas MK/Andhini SF